SALAM PERSAHABATAN

hidup tanpa persahabatan bagaikan perkasanya singa yang
tinggal sendirian dibelantara hutan. sekeras apapun prinsip dan hati manusia
mesti membutuhkan sahabat


Sabda Nabi Saw:

Hati manusia adalah kandungan rahasia dan sebagian lebih mampu merahasiakan dari yang lain. bila kamu memohon sesuatu kepada allah maka mohonlah dengan penuh bahwa doamu akan terkabulkan. allah tidak mengabulkan doa orang yang hatinya lalai dengan lengah. (HR. Ahmad)

Selasa, 09 Juni 2009

Isu gender dalam studi islam

“Isu gender dalam studi islam:
suatu problema atau suatu solusi alternative”
By. Abdul latif
Dalam suatu seminar regional yang diadakan InPas (Institut Perkembangan dan Peradaban Islam), Henry Sholahuddin sebagai pembicaranya, mengutarakan bahwa Ada beberapa suatu tantangan kontemporer bagi pemikiran islam saat ini, yaitu liberalism, secularsm, pluralism, feminism (gender). Empat hal ini lah yang akan memunculkan relativisme kebenaran. Menurut scott peck dalam The Road Less Travelled yang dikutip Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, dikatakan: ‘Sekali kata ‘religion’ disebutkan di Dunia Barat, ini akan membuat orang berpikir tentang: ….inkuisisi, tahyul, lemah semangat, paham dogmatis, munafik, benar sendiri, kekakuan, kekasaran, pembakaran buku, pembakaran dukun, larangan-larangan, ketakutan, taat aturan agama, pengakuan dosa, gila. Apakah semua ini yang Tuhan lakukan untuk manusia atau apa yang manusia lakukan terhadap tuhan. Ini merupakan bukti kuat bahwa percaya pada Tuhan sering menjadi dogma yang menghancurkan.’ .
Perkembagan isu Gender berangkat dari feminism yang digencarkan dunia barat karena ketidakadilan antara kaum laki-laki dan perempuan, baik dalam teks-teks yang tertulis dalam kitab (injil) atau pada kenyataannya perempuan selalu dianggap subordinasi setelah laki-laki. Mengkaji gender tidak mungkin lepas dari sejarah barat dengan kitab sucinya al-kitab yang begitu bermasalah.
Dalam buku yang berjudul “ideologi jender dalam kitab suci: suatu pengantar”, karya Hendrik Njiolah, Pr. Mengutarakan bahwasannya feminism dan kesetaraan gender berawal dari suatu ketidakadilan dan penindasan, kemudian hal itu menjadi suatu kontruksi social dalam masyarakat dan mengakibatkan ideology gender untuk melawan budaya partiliniar yang mempunyai landasan dalam ajaran agama, bahkan menjadi masalah teologis.

Apa itu gender?
Secara etimologi, gender dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia berarti jenis kelamin. Dalam webster’s New World Dictionary, gender is the apparent sisparity between man and women in values and behavior (perbedaan yang Nampak dari laki-laki dan perempuan dari segi nilai dan tingkah laku).
Secara terminology, bermacam-macam orang mendefiniskannya, tergantung dari sudut pandang dan latar belakang orang tersebut. Misalnya Hilary M. Lips dalam bukunya “sex & gender: an introduction”, mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultutal expectations for women and men). Di Indonesia istilah gender sudah lazim digunakann, khususnya dikantor menteri Negara urusan peranan perempuan dengan ejaan “jender”. Jender diartikannya sebagai “interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya ditunjukan untuk pembagian kerja yang dianggap tepat untuk laki-laki dan perempuan”,
Nasrudin Umar, setelah menganalisis definisi-definisi yang dikeluarkan orang barat dan orang feminism, menyimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dn perempuan dilihat dari segi social-budaya. Jender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis.
Orang feminism (aktifis gender) mengangkat tema gender ini dengan terlebih dahulu membedakan antara sex dan gender. Secara umum gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan dari segi social-budaya. Jadi lebih menekankan pada masalah social, budaya, psikologis dan aspek-aspek non biologis lainnya. Sementara, sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi, seperti perbedaan komposisi kimia dan hormone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Penggunaan gender ini terhitung saat proses pertumbuhan anak menjadi lebih dewasa. Sedangkan sex, digunakan untuk persoalan reproduksi dan aktivitas seksual.
Pembedaan gender disebarkan karena ada suatu anggapan bahwa perbedaan gender sebagai akibat dari perbedaan sex. Pembagian peran dan kerja secara seksual dipandang sesuatu yang wajar. Mereka (feminis) berpendapat sebaliknaya bahwa perbedaan sex tidak mesti menyebabkan ketidakadilan gender. Oleh karena muncullah berbagai teori tentang gender untuk menghilangkan ketidakadilan gender ini, terutama bagi perempuan yang selalu diposisikan kedua setelah laki-laki.

Teori-teori gender
Dalam studi gender dikenal beberapa teori yang bisa menjelaskan latar belakang pembedaan dan persamaan peran gender laki-laki dan perempuan, antara lain:
1. Teori psikoanalisa/identifikasi
Teori ini dikenakan pertama kali oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori ini menyatakan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Feud menjelaskan bahwasanya kepribadian seseorang terbentuk tiga unsur, yaitu: Id, Ego, Superego.
Pertama, id, sebagai pembawaan sifat-sifat fisik-biologis seseorang sejak lahir, termasuk nafsu seksual dan insting yang cenderung selalu agresif. Id ini berkerja di luar rasional dan senan tiasa mencari kesenangan dan kepuasan biologis. Kedua, ego, bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakan keinginan agresif dari id. Ego berupaya mengatur hubungan antara keinginan subjektif individu dan tuntutan objektif realitas social. Ketiga superego, berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadiaan, berusaha mewujudkan kesempurnaan hidup, lebih dari sekedar mencari kesenangan dan kepuasan.
Perkembangan kepribadian seseorang terpengaruh oleh satu diantara lima tahapan psikoseksual yang freud sebutkan, yang mana setiap tahapan memiliki kesenangan seksual sendiri, yaitu:
1. Oral stage/Kesenangan berada di mulut (menghisap susu)
2. Anal stage/Kesenangan berada di dubur (mengeluarkan kotoran)
3. Phallic stage/kesenangan pada saat mengidentifikasikan alat kelaminnya (erotis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak perempuan)
4. Talency stage/tahap remaja (kecenderungan menekan erotis sehingga menjelang pubertas)
5. Genital stage/kesenangan terletak pada daerah kemaluan (saat kematangan seksualitas)
Menurut Freud, sejak tahap phallic, yaitu anak usia antara 3 dan 6 tahun, perkembangan kepribadian anak laki-laki dan permpuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan formasi social berdasarkan jender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan. Dalam masa anak menenali perbedaan anaomi tubuhnya, terutama didaerah kemaluannya, karena pada masa ini seseorang anak laki-laki atau perempuan akan merasakan kenikmatan ketika mempermainkan alat kelaminnya
(bersambung)




Read More......

Senin, 08 Juni 2009

PRINSIP DAN TEORI HUKUM ISLAM

PRINSIP DAN TEORI HUKUM ISLAM
Judul Asli : Principles of Islamic Jurisprudence (The Islamic Texts Society)
Pengarang : Muhammad Hasyim Kamali
Penerjemah : Noorhadi, S. Ag
Penerbitan : cetakan I, Oktober 1996, Pustaka Pelajar, Jogyakarta
Peresensi/peresume : Abdul latif ( C51206004)

Buku tema ushul fikih ini berdasarkan dari kekurangan referensi tentang ushul fikih, yang kajiannya bersifat komprehensif, yang menggunakan bahasa inggris. Yang mana, pembahasan tentang ushul fikih dalam berbahasa Arab kekurangan refernsi berbahasa arab sehingga hanya sekedar pembahasan global saja. Pada dasarnya buku ini membahas seluk beluk tetang ushul fikih, yang merupakan metodelogi hukum islam. Buku ini bisa dibilang komprehensif, pembahasannya bukan hanya sekedar memamparkan sisi historis dari perkembangan ushul fikih itu sendiri, tapi mengungkapkan konsep dan prinsip hukum islam yang kemudian mencoba menerapkannya kepada permasalahan kontemporer. Selain itu, dibandikan pula dengan konsep-prinsip jurispudensi barat.
Muhammad Hashim Kamali, adalah seorang guru besar di Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia dengan spesialisasi Hukum Islam dan ushul fikih. Beliau juga seorang pemikir hukum Islam yang memiliki wawasan interdisipliner pengetahuan dan mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang hukum. Muhammad Hashim Kamali menyatakan bahwa penulis Arab cenderung menjelaskan perkembangan historis fiqh terpisah dari usul fiqh, karya-karya mereka dalam usul fiqh dicurahkan hampir semata-mata untuk materi yuridis usul fiqh, Muhammad Hashim Kamali menawarkan kontruksi pemikiran hukum, tetapi tawaran-tawaran beliau pada dasarnya tidak berbeda dengan ulama-ulama terdahulu, hanya dalam membangun kerangka metodologi ushul fikih pemikirannya telah memadu pendekatan salaf dan khalaf yang tersusun secara sistematis, jelas dan terklasifikasi dengan baik. Sedangkan pemikirannya dalam hal hukum Islam yang substantif tergolong modernis khususnya tentang bentuk transaksi modern.
Buku ini terdiri dari 9 Bab, bab pertama dan selajutnya adalah pembahasan tentang perincian dari bab sebelumnya. Bab pertama diawali dengan pengantar ushul fikih. Dalam bab ini Kamali memberikan suatu pengantar tentang ushul fikih dan perbedaannya dengan fikih dan ushul qannun pula. Ushul fikih menguraikan tentang indikasi-indikasi dan metode deduksi hukum-hukum fikih dari sumber-sumbernya. Ushul fikih merupakan ilmu tentang sumber dan metodelogi hukum, dalam pengertian bahwa al-qur’an dan sunnah merupakan sumber hukum dan sekaligus sasaran dari ushul fikih. Metodelogi ushul fikih itu bertautan dengan metode penalaran seperti analogi (qiyas), preferensi juristic (istihsan), anggapan berlakunya kontinuitas (istishab), dan kaidah-kaidah interpretasi dan deduksi. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah interpretasi adalah penting untuk memahmi secara tepat suatu nash hukum. Jika nash al-qur’an dan sunnah tidak dipahami secara tepat, maka tidak ada hukum yang bisa dideduksi darinya, terutama apabila nash itu merupakan dallil tidak berdiri sendiri. Sasaran utama ushul fikih adalah mengatur ijtihad dan menuntun ahli hukum, dalam upaya mendeduksi hukum dari sumbernya.
Kamali memaparkan, ada dua pendekatan dari ushul fikih yang berkembang, yaitu, pendekatan teoritis dan pendekatan deduktif. Pendekatan teoritis, berhubungan dengan pengungkapan doktrin-doktrin teoritis dan prinsip-prinsip. Pendekatan ini ditempuh oleh mazhab syafi’I dan mutakalimin (ulama kalam dan mu’tazilah). Sedangkan pendekatan deduktif bersifat pragmatis, dalam pengertian teori diformulasikan untuk penerapan terhadap masalah-masalah yang relevan. Pendekatan ini lebih cenderung kepada pengembangan sintesis antara prinsip dan realitas, yang menempuh pendekatan ini adalah ulama hanafi. Perbedaan pendekatan ini lebih kepada orientasi ketimbang substansinya.
Kemudian Kamali menjelaskan tentang Al-adillah al-syar’iyyah, yakni hukum-hukum dan nilai-nilai yang mengatur perilaku mukalaf. Secara harfiyah dalil bermakna bukti, indikasi atau petunjuk. Sacara teknis, ia merupakan indikasi yang terdapat di dalam sumber-sumber untuk ketentuan syari’ah yang bersifat praktis atau hukum (di deduksi). Dalam terminology, al-adillah al-syar’iyyah menunjuk kepada empat dalil pokok, yaitu al-qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. al-adillah al-syar’iyyah inilah yang akan menjadi sumber hukum islam. Dab bab selanjutnya itu membahas tentang sumber hukum islam ini, dengan bab-bab yang secara khusus.


Bab kedua tentang alqur’an. Sudah diakui semua bahwa keautetntikan al-qur’an telah teruji kebenarannya. Al-qur’an merupakan wahyu yang tampak (wahy zahir) yang didefinisikan sebagai pesan allah kepada nabi Muhammad, yang dibawa malaikat jibril dengan kata-kata yang sepenuhnya dari Allah SWT. Berbeda dengan hadis, termasuk wahyu internal (wahy batin), wahyu ini hanya sekedar inspirasi (ilham) tentang konsep-konsep dari allah. Ciri-ciri dari Karakteristik legislasi al-qur’an diantaranya suatu proses rasionalisasi (ta’lil). Meskipun, ada beberapa ayat al-qur’an yang sudah disebutkan kausa atau alasan, tetapi al-qur’an sangat ekpresif terhadap tujuan, alasan, manfaat, ganjaran dan keuntungan dari petunjuk-petunjuknya. Karena al-qur’an mengarahkan kesadaran individual untuk menyakini dan mempercayai kebenaran dan sumber pesannya. Pembahasan dari karakterisik ini diantaranya mengenai: Qat’I (yang definitif) dan zanni (yang sepekulatif); Al-ijmal wa’l-tafsil (yang garis besar dan yang yang terperinci); Al-ahkam al-khamsah (lima macam nilai perbuatan); Ta’til (proses rasionalisasi) dalam al-qur’an; I’jaz (kemukjizatan) al-qur’an; Asbab al-nuzul (sebab turunya ayat).
Bab ketiga tentang sunnah. Para ulama bersepakat bahwa sunnah merupakan sumber syari’ah dan ketentuan-ketentuannya mengenai halal dan haram berdiri sejajar dengan al-qur’an. Sunnah nabi adalah dalil bagi al-qur’an, memberi kesaksian terhadap otoritasnya dan menyeluruh umat islam untuk mengikutinya. Kata-kata nabi sebagaimana diungkapkan dalam al-qur’an sebagai wahyu allah. Klasifikasi dan derajat sunnah dilihat dari segi matannya, bisa terbagi dalam tida jenis, perkataan (qawli), perbuatan (fi’il) dan persetujuan yang tidak diucapkan (taqriri). Dari jenis sunnah ini bisa terbagi kepada sunnah yang berisi materi hukum (sunnah syar’iyah/legal) dan sunnah yang tidak berisi materi hukum (sunnah ghayr syar’iyah/non-legal). Kalsifikasi dan derajat sunnah ditinjau dari sanadnya, terbagi mutawati dan ahad. Dari sunnah ini ada yang terkatagorikan mutasil dan ghayr mutasil. Disebut mutasil karena bersambung kepada rasul sedangkan ghayr mutasil tidak bersambung kepada arasul, sunnah tersebut Cuma bersandar kepada sahabta tau tabi’in.
Hubungan sunnah dan al-qur’an dalam tiga kapasitas. Pertama, sunnah dapat berupa ketentuan yang hanya mengkonfirmasikan dan mengulangi pernyataan al-qur’an, di mana ketentuan tersebut bersumber dari al-qur’an, dan sunnah memperkuatnya. Kedua, sunnah dapat berupa penjelasan atau klasifikasi bagi al-qur’an: sunnah bisa menjelaskan nash al-qur’an yang mujmal, mutlaq atau menginterpretasikan hal-hal yang umum (‘amm). Ketiga sunnah berupa ketentuan yang tidak tersinggung oleh al-qur’an, jadi ketentuan tersebut bersumber dari sunnah (berdiri sendiri).
Pada bab keempat, menjelaskan kaidah-kaidah interpretasi deduksi hukum dari sumbernya. Untuk menginterpretasikan qur’an dan sunnah dalam upaya mendeduksi ketentuan-ketentuan hukum dari petunjuk yang diberikannya, bahasa qur’an dan sunnah harus dipahami secara benar. Diantaranya bisa dengan Ta’wil (interpretasi alegoris). Yaitu, keluar dari kata-kata atau ungkapan, kemudian menafsirkannya ke dalam sebuah makna tersembunyi yang sering kali didasarkan pada penalaran spekulatif dan ijtihad. Norma kata-kata adalah member dirinya makna yang jelas. Ta’wil berpaling dari norma ini dianggap tidak ada kecuali terdapat alasan untuk membenarkan penerpannya. Ta’wil dapat diterapkaan dalam berbagai kapasitas, seperti menafsirkan nash yang umum atau yang mutlak. Ta’wil itu relevan dan benar apabila dapat diterima tanpa argument yang dibuat-buat dan tidka masuk akal. Karena interpretasi yang benar adalaha interpretasi yang didukumg oleh nusus, analogi, atau prinsip-prinsip hukum. Biasanya interpretasi yang benar tidak bertentangan dengan bunyi eksplisit dari hukum dan akurasinya lahir dari isi nash itu sendiri. Akan tetapi tidak semua kata bisa di ta’wil, hanya kata yang terkatagorikan zahir dan nass, bukan yang muhkam dan mufassar. Dalam bab ini juga menjelaskan tentang kata-kata yang klasifikasinya kata tidak jelas seperti Khafi dan musykil, mujmal dan mutasyabih; klasifikasi ‘amm dank ha khass; klasifikasi mutlaq dan muqayyad; klasifikasi haqiqi dan majazi; dan musytarak.
Untuk bab kelima, tentang kaidah interpretasi al-adalalat (implikasi-implikasi tekstual). Kaidah ini berdasarkan suatu pemahaman setiap dari teks itu terdapat makna tersurat dan tersiratnya. Para ulama ushul membedakan makna ke dalam beberapa corak yang ditampung oleh suatu nash. Para fukuha hanafi membedakan makna ke dalam empat tingkatan, yaitu: makna eksplisit (makna langsung), yang tersirat, yang tersimpul, dan yang dikehendaki. Kemudian Kamali memaparkan ada corak kelima yang kontroversial tapi pada prinsipnya diterima juga, corak kelima tersebut adalah makna berlawanan.
Makna eksplisit (ibarah nash) yang didasarkan atas kata-kata dan ungkapan nash merupakan makna yang paling dominan dan otoritatif yang mendapat prioritas di atas tingkatan makna lainnya yang bisa ditemukan dalam nash. Di samping maknanya yang jelas, suatu nash kadang membawa makna yang ditunjukan oleh tanda-tanda dan isyarat yang terdapat di dalamnya. Makna sekunder ini disebut isyarah al-nash, yakni makna yang tersirat. Kemudian makna yang bersifat melengkapi yang didukung oleh muatan logis dan juridis dari nash itu, dikenal sebagai dalalah al-nash. Untuk makna yang dikehendaki, terjadi karena nash sendiri tidak mengatakan apa-apa, tetapi pembacaan tersebut untk memenuhi tujuan hakikinya.
Adapun untuk makna berlawanan (mafhum mukhalafah), para ulama ushul berbeda-beda menanggapi ini. Ulama hanafi berpendapat bahwa mufhum mukhalafah bukanlah metode interpretasi yang valid. Namun demikian, mafhum mukhalafah dipegangi sebagai dasar pembatasan tidak hanya oleh ulama syafi’I tetapi oleh ulama hanafi, merreka menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memastikan ketepatan penggunaan metode ini. Menurut ulama syafi’I, deduksi dengan menggunakan mafhum mukhalafah hanya bisa diterima jika memenuhi syarat berikut: tidak keluar dari lingkup dalalah mantuq; tidak keluar dari kedudukannya semula karena alasan-alasan seperti takut atau tidak tahu; tidak bertentangan dengan sesuatu yang dominan dalam masyarakat dan menjadi adat-istiadat; nash asal tidak diturunkan untuk menjawab persoalan atau peristiwa khusus; tidak menyimpang dari realitas atau ketentuan khusus nash; tidak membawa kesimpulan bertentangan dengan ketentuan nash kain. Selain berdasarkan persyaratan tersebut, ulama syafi’I dan maliki membagi mafhum mukhalafah ke dalam empat jenis. Tujuannya untuk menjamin akurasi penerapan mafhum mukhalafah. Empat jenis tersebut adalah mafhum al-sifah (implikasi sifat), mafhum al-syarat (implikasi syarat), mafhum al-qhayah (implikasi lingkup nash) dan mafhum al-‘adad (implikaasi jumlah tertentu)
Bab keenam tentang perintah dan larangan, bahwasanya terdapat berbagai bentuk ungkapan dalam al-qur’an. Perintah biasanya diungkapkan dengan gaya imperative, tetapi ada kesempatan digunakannya kalimat lampau sebagai pengganti. Selain itu, perintah qur’an juga terdapat dalam bentuk sanksi moral. Perintah atau larangan dalam al-qur’an juga diungkapkan dalam bentuk peringatan tentang konsekuensi dari suatu perbuatan. Dalam kalimat perintah setidaknya terdapat tiga makna, yaitu antara wajib, sunat atau mubah. Begitu pula kalimat larang, mempunyai variasi makna seperti perintah. Makna pokok dari larangan adalah keharaman (tahrim), tetapi larangan juga digunakan sekedar menyatakan ketercelaan (karahiyah) atau tuntutan (irsyad) atau kesopanan (ta’dib) atau permohonan (doa)
Bab ketujuh persoalan tentang naskh. Menurut Kamali, naskh bisa didefinisikan sebagai penghapusan atau penggantian suatu ketentuan syariat oleh ketentuan yang lain dengan syarat bahwa yang disebut terakhir muncul belakangan dan kedua ketentuan tersebut itu ditetapkan secara terpisah. Dalam pengertian ini, naskh berlaku hanya dalam ketentuan syariat. Naskh diterapkan hampir semata-mata kepada al-Qur'an dan sunnah saja, penerapannya kepada ijma' dan qiyas, pada umumnya ditolak. Dan bahkan, penerapan naskh kepada al-Qur'an dan sunnah terbatas pada kerangka waktu, hanya untuk sate periode, yaitu semasa Nabi masih hidup. Alasan tentang adanya naskh adalah karena berubahnya keadaan dalam kehidupan masyarakat dan kenyataan bahwa al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Para ulama sepakat tentang adanya naskh dalam sunnah. Namun demikian, mengenai terdapatnya naskh dalam al-Qur'an pada dasamya terdapat beberapa ketidaksepakatan, di samping sejumlah kejadian di mana naskh dikatakan terjadi.
Kamali menegaskan bahwa naskh pada umumnya merupakan fenomena penduduk Madinah yang tedadi sebagai akibat perubahan yang dihadapi masyarakat muslim setelah hijrah Nabi ke Madinah. Ketentuan-ketentuan yang diintrodusir pada tahap awal munculnya Islam diarahkan untuk merebut hati orang-orang Mekkah. Contohnya adalah jumlah salat dalam sehari yang semula dua kali tetapi kemudian ditambah menjadi lima. Demikian juga, mut'ah atau perkawinan temporer, yang semula dibolehkan tetapi kemudian dihapuskan setelah Nabi hijrah ke Madinah. Perubahan-perubahan ini dan beberapa perubahan serupa dimunculkan dalam nusus pada waktu masyarakat Muslim mendapatkan otoritas kekuasaan, di mana legislasi yang baru dianggap mendesak untuk mengatur kehidupan di lingkungan baru Madinah.33 Selanjutnya Kamali menjelaskan bahwa jenis naskh, yaitu eksplisit (sārih) dan secara implisit (dimni).
Bab kedelapan tentang ijma, Kamali mengemukakan pendapat jumhur ulama bahwa didefinisikan sebagai kesepakatan bulat mujtahid muslim dari suatu periode setelah wafatnya Nabi Muhammad tentang suatu masalah. Menurut definisi ini, rujukan kepada mujtahid mengesampingkan kesepakatan orang-orang awam dari lingkup ijma'. Demikian halnya, dengan merujuk kepada mujtahid suatu periode berarti periode di mana ada sejumlah mujtahid atau sejumlah mujtahid yang baru muncul setelah terjadinya peristiwa itu. Pada bagian kesimpulan, Kamali mengemukakan bahwa definisi klasik tentang ijma' dan ijtihad terkena dengan syarat-syarat yang sebenamya menjatuhkan keduanya ke dalam realisme utopia. Ketidak-realisan formulasi-formulasi ini terlukis di masa-masa, modem dalam pengahman bangsa-bangsa, muslim dan upaya-upaya mereka untuk memperbaharui bidang-bidang tertentu dari syariah melalui legislasi perundang-undangan. Dasar hukum bagi beberapa reformasi modem di bidang hukum perkawinan dan perceraian, misalnya, diupayakan melalui reinterpretasi ayat-ayat yang relevan. Beberapa, model pembaharuan ini tepat dikatakan sebagai contoh-contoh ijtihad di zaman modern .
Bab kesembilan tentang qiyas, Menurut Kamali, dari segi teknis, qiyas merupakan perluasan nilai syariah yang terdapat dalam kasus asal (asal) kepada kasus baru karena yang disebut terakhir mempunyai kausa ('illat) yang sama dengan yang disebut pertama. Kasus asal ditentukan oleh nas yang ada, dan qiyas berusaha memperluas ketentuan tekstual tersebut kepada kasus yang baru. Dengan adanya kesamaan kausa ('illat) antara kasus asal dan kasus baru, maka penerapan qiyas mendapat justifikasi. Selanjutnya beliau menjelaskan pemakaian analogi hanya dibenarkan apabila jalan keluar dari kasus baru tidak ditemukan dalam al-Qur'an, sunnah atau ijma' yang tergolong qat'î. Akan menjadi sia-sia untuk menggunakan qiyas apabila kasus yang baru dapat terjawab oleh ketentuan yang telah ada. Hanya dalam soal-soal yang belum terjawab oleh nusus dan ijma' sajalah hukum dapat dideduksi dari salah satu sumber ini melalui penerapan qiyas. Mengenai kehujahan qiyas, Kamali mengatakan sekalipun tidak terdapat otoritas yang jelas bagi qiyas di dalam al-Qur'an, tetapi ulama-ulama dari empat mazhab sunni dan Syi'ah Zaidi telah mengesahkan qiyas dengan mengutip berbagai ayat al-Qur'an untuk mendukung pendapat mereka. Di antara ayat al-Qur'an yang menjadi rujukan mereka adalah surah al-Nisa: 150 "Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu beriman kepada Allah.
Sebagai penutup, bahwasannya Muhammad Hashim Kamali dalam karyanya ini, membagi kaidah-kaidah interpretasi menjadi dua bagian, yaitu deduksi hukum dari sumber-sumbemya dan al-Dalālat (implikasi-implikasi tekstual) yang masing-masing terbagi lagi kedalam sub-sub bagian yang rinci dan jelas dilengkapi dengan contoh-contohnya. Pemikirannya dalam hal hukum Islam yang substantif tergolong modernis khususnya tentang berbagai bentuk transaksi modern. Hal ini bisa dimaklumi karena latarbelakang pendidikan di Barat seperti di Inggris dan Kanada dan berbagai pengalamannya dalam menjawab berbagai persoalan hukum yang ada.Wallahualam bi shawab


Read More......

Pengunjung Ana