SALAM PERSAHABATAN

hidup tanpa persahabatan bagaikan perkasanya singa yang
tinggal sendirian dibelantara hutan. sekeras apapun prinsip dan hati manusia
mesti membutuhkan sahabat


Sabda Nabi Saw:

Hati manusia adalah kandungan rahasia dan sebagian lebih mampu merahasiakan dari yang lain. bila kamu memohon sesuatu kepada allah maka mohonlah dengan penuh bahwa doamu akan terkabulkan. allah tidak mengabulkan doa orang yang hatinya lalai dengan lengah. (HR. Ahmad)

Minggu, 28 Desember 2008

NDP HMI





NDP adalah adalah Nilai-nilai Dasar Perjuangan Himpunan
Mahasiswa Indonesia. NDP ini termuat delapan bab, yaitu: Landasan Kerangka
Berfikir; Dasar-dasar Kepercayaan; Hakikat Penciptaan dan Ekskatologi; Manusia
dan Nilai-nilai Kemanusiaan; Individu dan Masyarakat; Keadilan Sosial dan
Ekonomi; dan Sains Islam.

BAB I

Landasan Kerangka Berfikir

Pada bab ini menjelaskan bagaimana tabiat manusia, berserta kecenderungannya. setiap manusia memiliki Gagasan-gagasan. Gagasan ini sering disebut pengetahuan/tasawwur atau konsepsi, tetapi masih bersifat sementara. Gagasan yang terseleksi inilah yang menjadi embrio dari keyakinan/kepercayaan seseorang. dikarenakan pengetahuan/konsepsi ini bersifat sementara, bisa benar dan salah maka diperlukanlah suatu penilaian terhadap konsepsi-konsepsi tersebut, supaya menyapai pengetahuan taasdiqi=pengetahuan yang benar-benar diyakini.
· Kemudian Apa landasan pokok penilaian kita supaya mendapatkan kebenaran yang sifatnya mutlak dan pasti?
Mazhab filosofis berbeda pendapat,
1. Metafisika islam, dengan dokrin aqliyahnya
2. Emperisme, dengan dokrin emperikalnya
3. Skriptualisme, dengan dokrin tekstualnya
· metafisika islam menjadikan prima principia, kausalitas serta metode deduktif sebagai kerangka berfikirnya.
· Emperisme, menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu dimana induktif sebagai kerangka berfikirnya.
· Skriptualisme, menjadikan teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta tekstul dalam kerangka berfikirnya.
Dalam metafisika islam, teks kitab suci dan pengalaman inderawi menjadi premis mayor dalam sistematika deduktif.

BAB II
Dasar-Dasar Kepercayaan


Manusia makhluk percaya yang rasional secara intuitif, sehingga punya potensi untuk mengetahui dan menyakini pengetahuan yang baru dengan befikir. Berfikir sendiri adalah aktivitas seseorang dalam upaya menyelesaikan masalah dengan modal prinsip pengetahuan sebelumnya.

Manusia harus memiliki kepercayaan yang benar dan mutlak (al-haqq), kepercayaan harus ditelaah secara objektif dengan segala potensi yang ada. karena kepercayaan akan melahirkan tata nilai. Hal ini juga yang menunjukan perbedaan manusia yang dikaruniai akal dengan hewan yang tidak mempunyai akal.

Metafiska islam menyatakan:

Kemutlakan WUJUD (ADA)-Nya

Wujud adalah sesuatu yang jelas keberadaannya dan tunggal
Selain keberadaan adalah ketiadaan
So,,
Apabila ada sesuatu selain ADA maka itu adalah ketiadaan
Ketiadaan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan

Makanya kebenaran dan kesempurnaan mutlak (zat yang maha sempurna) itu ada.

Manusia terbatas untuk sampai mengetahui kemahasempurnaan ADA, membutuhkan sesuatu sistem nilai yang sempurna. Dan sistem nilai yang sempurna tidak lain harus berasal dari yang maha sempurna. Sistem nilai ini pun harus dijelaskan dengan argumentatif, rasional, terbuka dan tidak dokriner.

Pada ranah realitas, setiap agama mengklaim maha sempurna tersebut dengan istilah, konsep dan simbol yang berbeda-beda.
Apakah semua agama benar?
Apakah semua agama salah?
Apakah hanya ada satu agama yang benar?

Agama yang berbeda mustahil memiliki sosok mahasempurna yang sama, walau memiliki kesamaan etimologis. Sebab bila sama, maka agama-agama itu identik. Namun, kenyataan sosiologis masing-masing agama berbeda.

Agama semua salah, ini mustahil karena bertentangan dengan ketergantungan manusia terhadap kemahasempurnaan

Jadi, hanya satu agama yang benar, yang seseorang pilih dan ikuti yang telah terbukti secara argumentatif.

Dalil pembuktiannya dengan pertanyaan:

Bagaimanakah sosok tuhan diantara agama-agama tersebut?
Secara prinsipil tuhan pasti bertolak belakang dengan manusia. Jika manusia terbatas, materi, terindera, bergantung dll, maka tuhan tidak terbatas, imateril, tidak terindera dll. Jika seseorang mengatakan tuhan mahasempurna, maka sesungguhnya tuhan lebih maha sempurna dari apa yang terdapat pada konsepsi orang tersebut.

Jawaban inilah yang menunjukan agama mana yang benar!!! Yaitu dengan mengetahui ciri-ciri umum dari sosok tuhan yang diyakini masing-masing agama, jika jawabannya ada yang mengarah pada persamaan tuhan dan manusia maka agama itu salah, atau ada yang menunjukan tuhan itu terbatas dan bergantung maka agama itu salah.


Segala sesuatu yang terbatas pasti bukan tuhan
Mengapa demikian?!

Karena manusia adalah manisfestasi tuhan (inna illahi) yang kemudian akan kembali kepadanya (wa inna illahi rajiun) sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempurnaan, kebahagiaan mutlak.

Keinginan untuk merefleksikan terimakasih dan beribadah, maka allah mengutus rasul sebagai pembimbingnya supaya dilakukan dengan benar. Rasul adalah cerminan tuhan di dunia, mengingkarinya berarti mengingkari tuhan. Sehingga harus patuh juga pada rasul.

Dari konsep fitrah dan rasio tentang realitas mutlak diatas ternyata sesuai dengan konsep teoritis tentang tuhan dalam ajaran muhammad yang mengaku rasul tuhan yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/syahadat.

Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dll dengan memperhatikan ayat-ayat tuhan yang terdapat di dalam kitab suci maupun di alam ini.

Kemudian setelah itu selesai,,bagaimana konsekuensinya?!!
Pencarian ketuhanan dan kerasulan adalah fitrah manusia menggapai kebahagian, keabadian dan kesempurnaan. Untuk mewujudkan ini maka lahirlah konsep keberadaan hari kiamat sebagai konsekuensi keadilan tuhan. Kehidupan akhirat merupakan refleksi perbuatan yang berlamdaskan iman, ilmu dan amal selama di dunia. Dengan kata lain, ganjaran akhirat adalah kondisi objektif dari relasi manusia terhadap tuhan dan alam.


BAB II
Hakikat Penciptaan dan Ekskatologi


Hakikat penciptaan= tujuan penciptaan
Siapa yang mempunyai tujuan penciptaan?
Tuhankah?!
Manusiakah?!
Kemanakah tujuan tersebut?!
Hasil konsekuensi metafisika islam akan diketahui bahwa tujuan dari segal ciptaan adalah bergerak menuju sesuatu yang sempurna.
Kesempurnaan yang tinggi adalah tuhan maka Dia lah yang menjadi tujuan dari seluruh gerak ciptaan.

Karena kita pegang terhadap cara berfikir metafisika islam,,yang mana prima prinsipia yang dipegang kemudian disertai kausalitas dan berfikir deduktif,,
Akan di temukan prima prinsipia,,bahwa keimanan kepada hari akhir atau ekskatologi merupakan prima prinsipia..inilah prinsip kedua setelah tauhid, bagi muslimin,,siapa yang tidak mengimani hari akhir ini,,dia bukan muslim.
Keberadaan hari akhir ini harus kita jelaskan secara filosfis sehingga tidak ada seorang pun yang meragukakan keberadaan hari akhir ini, terutam trhadap orang yang tidak mempercayai hari akhir.Hari akhir merupakan bukti keadilan tuhan, tampat dimana balasan dari segala apa yg dilakukan di dunia.


BAB IV
Manusia dan Nilai-nilai Kemanusiaan


Siapakah Manusia?
Darimana Tolak ukur manusia mulia atau hina?

•Aspek Basyariah (Fisiologis)
•Aspek Annas (Sosiologis)
•Aspek Insan Psikologis, bersifat s[ritual dan intelektual
Yang menjadi tolak ukur mulia atau hinanya manusia bisa dilihat dari aspek insan (psikologisnya, yang memuat intelektual dan spiritual)

Dalam konsepsi islam,,manusia dipandang sebagai insamukamil, manusia ideal.
Tuhan merupakan sumber kesemprunaan dan kemulian. Manusia dianggap sebagai manifestasi tuhan termulia dibumi dan wakil tuhan dibumi (Khilafah).
Kemuliaan manusia diukur dari dimensi apanya?
Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keniscayaan Universal (Takdir)
•Keniscayaan Universal/Takdir merupakan syarat munculnya ikhtiar. Tanpa Takdir tidak mungkin perlu ikhtiar.
•Bedakan antara Takdir/Sunnatullah dengan Nilai
•Untuk dapat bertahan nilai harus selaras dengan sunnatullah.
Sunnatullah: Nilai:
Hukum Alam Kesepakatan
Universal Lokal
Objektif Subjektif
Eksternal Internal
Tidak berubah Berubah
Terbukti dgn sendirinya Pembuktian berbeda2

Al Fath (48:23) Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.


BAB V

Individu dan Masyarakat


•Manusia adalah makhluk berjiwa individual dan berjiwa bermasyarakat/sosial secara sekaligus.
•Kedua aspek ini mesti dipahami dan di letakkan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang pertama melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan kesatuan.
•Karena itu mencabut salah satunya dari manusia itu berarti membunuh kemanusiaannya.

BAB VI
Keadilan Sosial dan Ekonomi


•Bagi Islam satu - satunya jalan yang dapat mengatasi masalah ketidak adilan adalah dengan memberikan jaminan pendapatan tetap, dengan kemungkinan mendapatkan lebih banyak
•Serta mengubah konsepsi manusia tentang manusia dan pandangan hidupnya dari semata-mata bersifat materialistik ke kesadaran teologis dan ekskatologis, tanpa memasung atau bahkan mematikan naluri alamiahnya.


BAB VII

Sains Islam


•Islamisasi sains terhadap sains-sains modern (sains positivisme) merupakan bentuk keseriusan dalam menjawab efek negatif sains modern yang materialistik, anti metafisika.
•Sekaligus sebagai wujud dari naturalisasi sains didunia Islam, sehingga pengaruhnya yang negatif terhadap gagasan metafisis (Teologi dan Ekskatologi) dan nilai-nilai agama Islam lainnya dapat dihindari.
•Hasil dari upaya islamisasi sains inilah yang kita sebut sains islam.
Read More......

Sabtu, 27 Desember 2008

Hisab Rukyat

Penentuan Awal Bulan Hijriah

Surabaya, sabtu (27/12) Workshop mingguan CSS MoRA IAIN Sunan Ampel Surabaya, kali ini mengangkat tema “Hisab Ruhyat”. Workshop menghadirkan pembicara, Drs. Abdul Salam Nawawi, Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, yang mulai berkecimpung terhadap Hisab Ru’yat sejak tahun 1992. Pak Salam, sapaan akrabnya di kampus, membawakan makalah yanag berjudul “Teologi Hisab Ruhyat: untuk penentuan awal bulan hijrah”. Peserta workshop adalah anggota CSS MoRA IAIN Sunan Ampel Surabaya angkatan 2006, yang berjumlah 40 mahasiswa fak. Syari’ah. Workshop berlangsung berkat kerjasama Akademik fak.Syari’ah dengan Departemen Agama RI. Dan workshop dilaksanakan di Auditorium Syariah IAIN Sunan Ampel.

Bagi umat Islam Penentuan awal bulan hijriah menjadi sesuatu yang urgen, karena kebanyakan praktek ibadah dalam islam mengacu kepada penanggalan Qamariah, yaitu penanggalan berdasarkan perputaran bulan. Pak Salam menjelaskan bahwa, ada kontroversi jawaban fikih dalam penentuan acuan awal bulan hijriah. Diantaranya:
1. al-Ramli dan al-Khatib al-Syarbini: Rukyat, La ‘Ibrah li Qawl al-Hussab. Lihat, Abu Bakr Usman bin Muhammad Syatta al-Bakri, Hashiyah I’anah al-Thalibin, juz 2, (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), h. 216
2. al-Subkiy, al-Abbadiy, dan al-Qalyubiy: Rukyat tidak sesuai dengan Hisab, ditolak. ibid.; Syihabuddin al-Qalyubiy dan Shihabuddin ‘Umairah, Hasyiyah al-Qalyubiy wa ‘Umairah ‘ala Minhaj al-Thalibin, juz 2, (Mesir: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), h. 49
3. Ibnu Hajar al-Haitamiy: Rukyat ditolak bila semua ahli hisab sepakat menafikannya. Ibnu Hajar al-Haitamiy, Tuhfah al-Muhtaj, juz 3, h. 382

Melihat pendapat pertama, ditegaskan bahwa penentuan awal bulan hijriah adalah dengan rukyat, apa pun pendapat ahli hisab itu tidak dapat dijadikan acuan/pelajaran. Begitupula, pendapat kedua, menjelaskan bahwa rukyat akan ditolak jika tidak sesuai dengan hisab. Dengan kata lain, menafikan pendapat pertama. Kemudian pendapt ketiga ingin menjadi penengah diantara perbedaan itu, yaitu dengan mengatakan rukyat itu ditolak bila semua ahlli hisab sepakat menolaknya, tapi selama ahli hisab juga tidak menyepakatinya, rukyat bisa diterima saja. Oleh karena itu, pak salam menawarkan gagasan dengan pendekatan lain, yaitu, “Teologi Hisab Rukyat”. Karena jika kita terus mengacu secara apa adanya kepada khazanah fikih warisan masa lalu, kontroversi seputar penentuan awal hijriah tidak akan pernah selesai.
Secara garis besar, teologi hisab rukyat berdasarkan pemahaman bahwa Allah SWT mencipta Alam. Alam besar (alam semesta/makro kosmos) dan alam kecil (manusia/mikro kosmos). Allah SWT mengatur ciptaan ini dengan sunnatullah (hukum alam) dan dinnullah (agama). Sunnatullah itu berlaku bagi alam besar dan alam kecil, yaitu suatu kepastian/ketetapan dari keadaan sesuatu. Sedangkan dinnullah hanya bagi manusia saja, yaitu aturan yang mengarahkan sikap manusia bagaimana bersikap terhadap dirinya, terhadap tuhan dan alam dilingkungannya. Adapun perbedaan secara rinci diantara keduanya, sebagai berikut:
Sunnatullah:
1. Bersifat objektif, pasti, dan tetap. Seperti, Benda dilempar ke atas pasti ke bawah karena ada gaya gravitasnya,
2. Tidak diwahyukan tetapi dibentangkan dalam hamparan alam semesta dan alam manusia
3. Kajian sunnatullah ini melahirkan ilmu dunia (ilmu umum), seperti fisika, kimia, kedokteran, astronomi, dsb
4. Kebenarannya tergantung kepada seberapa akurat ia didukung oleh realitas empirical-obyektif.
Dinnullah:
1. Bersifat subyektif (bias ditaati atau tidak oleh semua orang), tidak pasti dan tidak tetap. Dari 25 nabi yang dikenalkan, semua syari’at yang diajrkan berbeda-beda karena tergantung konteks yang dihadapinya. Misalnya, jaman nabi adam nikah dengan saudara boleh, sekarang tidak boleh.
2. Diwahyukan berupa al-qur’an dan al-Hadits
3. Kajian terhadap dinnullah melahirkan ilmu agama, seperti fikih, tauhid, tashawuf, dsb
4. Kebenarannya terganung seberapa akura didukung oleh realitas legal-formal (dalil naql/al-qur’an dan as-sunnah)
Berangkat dari kerangka berfikri di atas, pak Salam mengaitkan dinnullah ‘penentuan awal bulan hijriah’ dengan sunnatullah ‘tentang perjalanan bulan dan matahari’. Dinnullah berbicara penentuan awal bulan hijriah, terdapat pada:
1. Q.S. Al-Isra’:12
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آَيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آَيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آَيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا (12)
“dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.”
2. Q.S. Yunus: 5
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (5)
“5. Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”
Dari ayat di atas menyatakan bahwa Bahwa Allah menjadikan malam dan siang dengan tanda-tanda yang berbeda, Matahari bersinar dan Bulan bercahaya, dan menjadikan peredaraannya pada manzilah-manzilah yang ditentukan kadarnya adalah dimaksudkan supaya manusia mengetahui: Adad al-Sinin dan Hisab al-Sinin.
AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ dan AL-’ILMU BI ‘ HISAB AL-SININ adalah pengetahuan-2 tentang Kalender. Hubungan antara keduanya bersifat FUNGSIONAL-PROGRESSIF, di mana AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ sebagai pengetahuan “pendahuluan” berguna untuk menyiapkan kerangka dasar menuju dicapainya AL-’ILMU BI ‘HISAB AL-SININ sebagai pengetahuan “lanjutan”. Iradah Ilahiyah supaya manusia mengetahui kedua pengetahuan itupun juga berlaku menurut pola FUNGSIONAL-PROGRESSIF itu, yakni dari AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ berproses maju menuju AL-’ILMU BI ‘HISAB AL-SININ.
Alur proses progresif tersebut:
1. Ru’yah bi al-Fi’l “seadanya” menghasilkan AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ dengan akurasi rendah dan peluang kekeliruan yang relatif besar
2. Ru’yah bi al-Fi’l yang “cermat, terukur, dan tercatat” menghasilkan data posisi benda-benda langit (yang akurasinya terus dipertajam). Rukyah mulai dibantu dengan Hisab untuk menghasilkan AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ dengan akurasi yang lebih tajam.
3. Ketika produk Ilmu Hisab akurasinya sudah memadai, maka era AL-’ILMU BI HISAB AL-SININ sudah tiba
Sebelum mengambil kesimpulan pak Salam menyuguhnkan sabada Nabi Muhammad Saw berikut:
إنا أمة أمية لانكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا وهكذا ، وعقد الإبهام فى الثالثة ، والشهر هكذا وهكذا وهكذا ، يعني تمام ثلاثين (sesungguhnya umatku itu ummiyun, tidak bisa menulis dan menghitung, .....)
Berarti, yang berlangsung pada zaman beliau bukanlah gambaran penentuan awal bulan Hijriyah yang sudah ideal dan final sehingga harus dipertahankan sepanjang masa, melainkan terbuka untuk terus dipertajam akurasinya sebagaimana ALUR PROSES PROGRESSIF di muka tadi.
Kemudian kesimpulan pak Salam dengan mengacu pada rambu-rambu Dinnullaah dan Sunnatullah tentang perjalanan Bulan dan Matahari, dapat disimpulkan bahwa:
1. Dasar penentuan awal bulan Hijriyah ialah “FAKTA EMPIRIK” kemunculan Hilal (bukan Qamar) di atas Ufuk Barat “SETEMPAT” pada tanggal 29 petang sesudah terbenam Matahari paska ijtima’ atau konjungsi, atau ketidakmunculannya dengan akibat istikmal.
2. Karena Sunnatullah tentang pergerakan Bulan dan Matahari sifatnya teratur dan terukur, maka fakta empirik tentang kemunculan Hilal bisa diperoleh dengan “RU’YAH BI AL-FI’L YANG CERMAT” atau dengan “HISAB YANG AKURAT”.
3. RU’YAH BI AL-FI’L YANG TIDAK CERMAT (meskipun perukyatnya jujur) dan HISAB YANG TIDAK AKURAT tidak bisa diposisikan sebagai bukti empirik kemunculan atau ketidakmunculan Hilal. Karena itu keduanya tidak bisa dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan Hijriyah.
Sebelum mengakhir pemaparannya, pak Salam menegaskan: oleh karena ilmu hisab itu ilmu dunia, maka derajat kebenarannya ditentukan oleh seberapa akurat ia didukung realitas empirik. Terkait dengan derajat kebenarannya ilmu hisab kemudian lazim dikelompokkan menjadi tiga katagori: taqribi, tahqiqi, tadqiqi . wallahu ‘alam
Read More......

Jumat, 26 Desember 2008

Nusyuz

INTERPRETASI ‎
AYAT NUSYUZ DAN SYIQAQ DALAM AL-QURAN

Pendahuluan
Pernikahan merupakan suatu ritual yang sangat sakral dalam perspektif ‎masyarakat umunya. Segala tenaga dan harta pasti dicurahkan ketika pelaksanan ‎pernikahan. Pihak yang terlibat bukan hanya calon pengantin saja, tetapi juga keluarga, ‎kerabat, tetangga dan masyarakat. Bahkan pemerintah pun selaku pemimpin bangsa ‎dan Negara melibatkan diri dalam pernikahan, misalnya yang berkenaan dengan ‎pencatatan pernikahan.‎
Islam memandang pernikahan bukan sekedar hubungan biologis antara suami-‎istri, tetapi merupakan ibadah, yang dalam Al-Qur’an disebut Misyaqan Ghaalidon. Di ‎samping itu, Islam memperhatikan pula dalam pernikahan aspek sosiologisnya. Jadi, ‎selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, pernikahan dimaksudkan pula untuk ‎membentuk suatu keluarga sakinah, mawadah dan warahmah. Sehingga terbangun ‎suatu tatanan masyarakat yang aman, damai dan tentram.‎
Dalam suatu rumah tangga tidak jarang terjadi perselisihan atau persengketaan ‎antara suami-istri. Baik dikarenakan kesalahan suami atau sebaliknya. Bentuk ‎kesalahan tersebut bisa berupa unsur ketidaksengajaan atau kesengajaan. Penyelesaian ‎kesalahan yang disebabkan unsur ketidaksengajaan, tiada lain dengan kebesaran hati ‎memaafkan pihak yang bersalah dengan persyaratan jangan sampai diulangi. ‎Sedangkan penyelesaian kesalahan disebabkan unsur kesengajaan seperti ‎pembangkangan seorang istri, Allah SWT menjelaskannya pada surat An-Nissa’ ayat ‎‎34, yaitu dengan memberikan nasihat, tidak melakukan hubungan suami-istri dan ‎memukulnya.‎
Kemudian jika nusyuz tetap terjadi setelah melakukan tiga hal dalam An-‎Nissa: 34, maka dalam keluarga itu akan tumbuh suatu yang diistilahkan dengan ‎syiqoq atau persengketaan suami-istri. Yang mana kedua belah pihak mengklaim ‎dirinya merasa benar dan menyalahkan yang lain. Maka Allah menjelaskan pada ayat ‎selanjutnya an-Nissa: 35 yaitu dengan mengutus hakam (juru damai) dari masing-‎masing keluarganya untuk melakukan arbitrase.‎
Penyelesaian nusyuz di atas, ada yang menjadi permasalahan pada konteks ‎kekinian, yaitu pada penafsiran para mufasir terhadap lafadz wadribuhunna dengan ‎memukul tanpa menyakitkan atau pukulan mendidik. Sehingga penafsiran ini ‎dijadikan justifikasi pembolehan pemukulan terhadap istri. Sebagian ilmuwan dan ‎cendekiawan muslim sekarang atau mufasir kontemporer, ada yang tidak menyepakati ‎wadribuhuinna ditafsirkan dengan memukul. Meskipun para ulama telah menegaskan ‎harus pukulan yang tidak menyakitkan. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan ayat ‎selanjutnya dan beberapa ayat dan hadits yang mengisyaratkan tidak boleh melakukan ‎kekerasan dalam dalam rumah tangga.‎

Teks Ayat
Ada beberapa ayat al-Quran yang menggunakan lafadz nusyuz dan syiqoq, ‎diantaranya QS. al-Baqarah: 137, 176, 259; an-Nisa: 34,35,128; Al-Anfal: 27; Al-‎Hasyr: 4; Mujadalah: 11; an-Nahl: 27; al-Furqan: 25; adz-Dzariyat: 44; Shad: 2; Hud: ‎‎89. Sedangkan Ayat yang terkait dalam kajian ini adalah an-Nissa ayat 34, 35, 128. ‎agar mempermudah pembahasan diawali dari ayat yang membahas nusyuz dan syiqoq ‎adalah surat an-Nissa ayat 34-35, sebagai berikut:‎
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ ‏قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ ‏وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا ‏فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا ‏‏(35)‏
‎ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah ‎telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), ‎dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab ‎itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika ‎suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). Wanita-wanita ‎yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah ‎mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka ‎mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. ‎Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar (34) Dan jika kamu ‎khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam ‎dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua ‎orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik ‎kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha ‎Mengenal.(35) (an-Nisa: 34-35)‎

Kata Kunci
نُشُوزَهُنَّ ‏ ‏ ‏ ‎= ‘kebencian’, ‘antipati’, ‘kedurhakaan istri terhadap suami’‎
فَعِظُوهُنَّ ‎= memberi nasihat dan arahan/petunjuk
‏ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ‎ = berpindah tempat tidur
وَاضْرِبُوهُنَّ ‎= pukullah untuk mendidik
شِقَاقَ ‎= pertentangan, perselisihan dan permusuhan
حَكَمًا ‎= hakim atau juru pendamai

Analisis Bahasa
قَانِتَاتٌ‎, merupakan khobar dari mubtada’ sebelumnya. Asalnya adalah Al ‎Qunuut yang berarti tetapnya ketaatan (kontinyuitas). Sedangkan yang dimaksud ‎disini adalah wanita-wanita yang taat kepada Allah SWT dan taat kepada suami-suami ‎mereka.‎ ‎ Sedangkan menurut Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud adalah wanita-wanita yang ‎taat kepada suaminya.‎
وَاللَّاتِي, Al Wau adalah wau isti’naf (permulaan). Sedangkan kata al laati itu ‎sendiri adalah isim mausul yang mempunyai ‘aid kepada kata An Nisa’. Ini berarti ‎wanita siapa saja yang oleh suami dikhawatirkan nusyuznya.‎
نُشُوزَهُنَّ ‏, merupakan maf’ul bih. Dhomir ‎َهُنَّ‎ adalah dhomir yang kembali ‎kepada isim maushul Al Laati. Ini berarti nusyuz yang dimaksud adalah maksiat atau ‎tidak taatnya seorang istri terhadap suami, bukan suami kepada istri. Sedangkan ‎makna asal nusyuz itu sendiri adalah al irtifaa’ atau tempat yang tinggi (tempat yang ‎tinggi/menonjol dari dalam bumi)‎ ‎. ‎
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ‎, Al Wau adalah wau ‘athf. Sedangkan Al Wau pada ‎lafadz ‎اهْجُرُوadalah wau jam’I yang khithabnya tertuju kepada para suami yang takut ‎atas nusyuz istrinya. Sedangkan lafadz ‎اهْجُرُو ‏‎ itu sendiri berbentuk amr (perintah), ‎sehingga berarti bagi suami yang khawatir akan nusyuz istri diperintahkan untuk ‎meninggalkannya di tempat tidur. Asal makna ‎الهجر‎ adalah apabila dengan huruf ha’ ‎yang difathah (al hajr), berarti meninggalkan karena benci. Sedangkan apabila ‎didhommah ha’nya (al hujr), berarti kata-kata yang keji. Menurut Ibnu ‘Abbas ‎وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ‎, adalah memalingkan punggung dan tidak menyetubuhinya.‎
َاضْرِبُوهُنَّ , ‎الضرب‎ di dalam kamus terdapat beberapa arti, diantaranya: ‎memukul, menampar, dan menonjok. Akan tetapi yang dimaksudkan dalam ayat ini ‎seperti yang dikemukan oleh beberapa mufasir klasik adalah memukul dengan halus, ‎tidak keras, dan tanpa bekas yang dimaksudkan sebagai pengajaran kepada istri dan ‎sebagai konsekuensi atas nusyuz yang telah dilakukannya kepada suami.‎
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ‎ Wau (‎و‎) dalam susunan kalimat ‎tersebut adalah wau tartib, yaitu menunjukan suatu urutan hirarki. ‎
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا‎ kalimat ini adalah syarat dan jawab syaratnya.‎

Asbabul Nuzul
Adapun sebab-musabab turunya Q.S. an-Nissa: 43, ialah bahwa ada seorang ‎sahabat Rasul, yang termasuk salah seorang guru (naqib) mengajarkan agama kepada ‎kaum Anshar, namanya Sa’ad bin Rabi bin Amr, berselisih dengan istrinya Habibah ‎binti Zuhair. Suatu ketika Habibah menyanggah (nusyuz) kepada suaminya Sa’ad itu. ‎Lalu Sa’ad menempeleng muka istrinya itu. Maka datanglah Habibah ke hadapan ‎Rasul ditemani oleh ayahnya sendiri, mengadukan halnya. Kata ayahnya: ‎‎“disetidurinya anakku, lalu ditempelengnya.” Serta merta Rasulullah menjawab: ‘biar ‎dia membalasnya (Qisas). Artinya Rasulullah mengizinkan perempuan itu membalas ‎memukul sebagai hukuman. Tetapi ketika bapak dan anak perempuannya telah ‎melangkah pergi, Rasul berkata: “kembali! kembali! ini jibril datang!” maka turun ayat ‎ini (membolehkan memukul)”. Maka berkatalah Rasulullah: “ kemauan kita lain, ‎kemauan Tuhan lain, maka kemauan Tuhanlah yang lebih baik”. Ada riwayat lain ‎bahwa nama perempuan itu ialah Khaulah binti Muhammad bin Salamah.‎ ‎ ‎
Akan tetapi periwayatan tentang asbabun nuzul di atas periwayatannya hanya ‎sampai sahabat atau mursal.‎

Munasabah
Setelah Allah menjelaskan keutamaan laki-laki dalam pembagian warisan, dan ‎dilajutkan dengan ayat yang melarang iri hati karena sebagian diantara ahli waris ada ‎yang lebih besar bagiannya dari yang lainnya, tepatnya laki-laki lebih besar dari ‎perempuan. Kemudian Allah turunkan ayat yang menjelaskan hak-hak masing-masing ‎suami istri dan memberi petunjuk langkah-langkah penyelesaian jika istri ‎dikhawatirkan terjadi Nusyuz dan rmaksiat. Kemudian dilanjut dengan ayat ‎selanjutnya penyelesaian tentang syiqoq, yaitu suatu perselisihan yang mampu ‎menghancurkan hubungan keluarga dan diasumsikan berawal dari nuzyuz.‎

Pembahasan
Dalam rumah tangga, kadang-kala hubungan antara suami-istri terjadi gesekan ‎atau persengketaan. Masalah tersebut tidak boleh begitu saja dibiarkan karena akan ‎sampai pada perceraian. Yang mana akan menghancurkan tujuan perkawinan itu ‎sendiri, membentuk keluarga bahagia, sakinah, mawadah dan warahmah. Apabila ‎suami atau istri sudah sampai ada yang meninggalkan kewajiban bersuami-isteri dalam ‎Islam disebut dengan nusyuz. Dalam kitab fikih atau tafsir klasik, kata nusyuz sering ‎diartikan istri yang tidak taat atau membangkang kepada suami. Pendapat ini ‎berdasarkan surat an-Nisa: 34. Ayat ini juga sering ditafsirkan dan dijadikan legitimasi ‎laki-laki melakukan tindak kekerasan terhadap istri yang telah dianggap nusyuz. ‎Sedangkan menurut Amina Wadud, dalam al-qur’an kata nusyuz dapat merujuk pula ‎kepada suami (Qs. an-Nisa: 128) dan istri (Qs. an-Nisa: 34). Sehingga berpandangan ‎bahwa nusyuz adalah ganguan keharmonisan dalam keluarga. Pendapat Amina ‎Wadud ini disandingkan dengan mengkutip pendapat Sayyid Quthb yang ‎menyatakan bahwa nusyuz lebih merujuk pengertian terjadinya ketidakharmonisan ‎dalam suatu perkawinan.‎ ‎ ‎
Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya atau ‎menentang perintah suami. Untuk nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras ‎terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya yaitu ‎menafkahinya dengan baik. Nusyuz dari pihak suami diterangkan dalam Q.S. an-‎Nissa: 128, sebagai berikut:‎
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ‏وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (128) ‏
Terjemahnya:‎
‎“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari ‎suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang ‎sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu ‎menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan ‎memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah ‎adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”‎
Kembali pembahasan pada Nusyuz dalam surat an-Nissa ayat 34, menunjukan ‎nusyuz istri terhadap suami. Yang bermakna perlawanan seorang istri terhadap suami, ‎yang sebelumnya menyebutkan istri yang shalihah dan taat kepada Allah dan suami. ‎Ibnu Katsir menyimpulkan dari ayat tersebut bahwa istri-istri itu ada dua macam, ada ‎yang shalihah dan ada pula yang membangkang atau melawan suami. ‎
Istri yang shalihah menurut ayat tersebut adalah perempuan yang taat kepada ‎Allah dan suaminya, menjaga dirinya (kehormatan), anak dan harta suaminya, baik ‎sewaktu bersama suami maupun sewaktu tidak bersama-sama. Berdasarkan riwayat ‎Ibnu Jarir dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda mengenai istri yang baik sebagai ‎berikut:‎
‎“Sebaik-baiknya wanita ialah perempuan apabila engkau melihatnya, ‎menyenangkan, bila engkau perintah mentaatinya dan bila engkau berada ‎dibelakangnya (tidak hadir) ia menjaga dirinya dan harta bendamu” (H.R. Abu Daud)‎
Istri yang membangkang (nusyuz) yaitu kebalikan dari istri yang taat. Allah ‎SWT memberikan cara untuk menanggapi istri yang nusyuz, untuk tingkat pertama ‎dengan memberikan nasihat. Para mufasir seperti Ibnu Abas dan Mujahid menafsirkan ‎bahwa yang dimaksud dengan nasihat adalah mengajakan atau mengarahkan dengan ‎al-Qur’an supaya bertakwa kepada Allah SWT dan mentaati suami.‎ ‎ Nasihat ini harus ‎disampaikan dengan penuh hikmah dan pengajaran yang baik.‎ ‎ Sayyid Quthub dalam ‎tafsirnya fizilalil qur’an mengatakan bahwa inilah tindakan pertama yang harus ‎dilakukan pemimpin dan kepala rumah tangga, yaitu melakukan tindakan pendidikan, ‎yang memang senantiasa dituntut kepadanya dalam semua hal.‎ ‎ Prof. Hamka ‎mengatakan bahwa apabila seorang istri itu terbiasa dengan kemanjaan dan ‎kemewahan waktu bersama dengan orang-tuanya, sehingga menganggap remeh ‎pemberian suaminya dan malakukan nusyuz, maka suami harus mengajarkan dan ‎menyadarkan bahwasanya setelah bersuami, halus maupun kasar, terimalah dengan ‎baik. Karena apabila seseorang telah bersuami, kemudian bercerai, jika ia kembali pada ‎tanggung jawab ibu-bapaknya tidak akan sama seperti sewaktu dia gadis.‎
Setelah diberikannya nasihat dan arahan dari sang suami, tetapi istri masih ‎tetap berbuat nusyuz karena hawa nafsunya lebih dominan, memperturutkan perasaan, ‎merasa lebih tinggi, atau menyombongkan kecantikannya, kekayaannya, status sosial ‎keluarganya, dan sebagainya. Maka Allah SWT memerintahkan supaya berhijrah ‎tempat tidur dengannya. Ibnu Abbas berpendapat bahwa maksudnya jangan ‎menyetubuhinya, jangan tidur dekatnya, atau belakangi dia sewaktu tidur.‎ ‎ ‎Begitupula para mufasir lainnya, mengartikan lafadz itu adalah suatu kinayah supaya ‎jangan berbuat jim’a dengan istri.‎
Para mufasir menjelaskan mengapa harus menahan untuk melakukan hubungan ‎suami-istri ketika istri tetap melakukan nusyuz setelah diberi nasihat?! Karena biasanya ‎istri yang nusyuz lantas cenderung surut dan melunak di depan suami yang tegar ini, ‎di depan kekuatan khusus suami dalam mengendalikan iradah dan kepribadiannya, ‎dalam menghadapi kondisi yang rawan, maka kebanggaan-kebanggan istri ‎‎(kecantikannya) , penyebab berbuat nusyuz memudar. Disinilah terdapat makna ‎pendidikan tertentu bagi istri yang berbuat nusyuz. ‎
Akan tetapi, jika langkah kedua ini juga tidak mencapai hasil, maka Allah ‎menyuruh untuk memukul istri tersebut, tetapi mesti lebih ringan dampaknya ‎dibandingkan dengan kehancuran rumah tangga itu sendiri gara-gara nusyuz.‎
Kata (‎اضْرِبُوهُنَّ ), ulama tafsir klasik mengartikan kata tersebut dengan ‎pukullah! Karena menafsirkan surat an-Nisaa’: 34 menunjukan prioritas langkah-‎langkah yang harus diambil, bukan secara serentak. Jadi si suami pertama-tama harus ‎menasihatinya (dialogis). Apabila tindakan ini tidak memberikan dampak positif, sang ‎suami harus berpisah ranjang “tidak berhubungan sex” dengan istri sementara waktu. ‎Apabila ini tidak berhasil juga maka harus memukulnya, meskipun para ulama ‎menegaskan pemukulan ini harus dilakukan dengan pelan tanpa bekas. Pengertian ini ‎juga berdasarkan asbabun nuzul turunya ayat an-nisaa’: 34, yang membolehkan suami ‎memukul istrinya ketika berbuat nusyuz. ‎
Sedangkan jika dikontekskan pada zaman sekarang, ada pula yang ‎berpendapat bahwa idhribu, diartikan dengan ‘berpaling dari’. Meskipun tidak ‎bergandengan dengan preposisi ‘an’ karena dalam bentuk amar.‎ ‎ Dari sudut pandang ‎ini, bila suami terganggu dengan ketidakpatuhan istrinya, dan bila nasihat yang diikuti ‎pisah ranjang (tidak berjima’) tidak memperbaiki hubungannya dengan istri, sang ‎suami boleh sepenuhnya mengabaikan istrinya untuk sementara waktu. Jika ‎sesudahnya, perkawinan mereka tetap bermasalah, wakil-wakil dari keluarga mereka ‎harus dilibatkan. Adapun pertimbangannya adalah supaya tidak ada hukuman fisik. ‎Berdasarkan sudut pandang rasional, saat ini tidak ada kemungkinan memberikan ‎hukuman fisik pada istri akan menjadi pelajaran berharga bagi istri yang tidak patuh ‎pada suaminya. Bagaimanapun orang akan berfikir sebaliknya. Senada dengan ‎pendapat tersebut, Aminah Wadud pun mengartikan idribu di sana bukan pukullah ‎akan tetapi dimaknainya dengan contohkanlah sesuai firman allah daraballah ‎masalan.‎
Tafsir kedua ini selaras dengan langkah keempat, dengan melibatkan keluarga ‎dari belah pihak (syiqoq), yaitu penyelesaian tanpa kekerasan. Begitu pula selaras ‎dengan surah an-Nisaa’: 128, yang menjelaskan jika istri khawatir suami berbuat ‎nusyuz, maka solusinya dengan perdamaian, walaupun perdamaiannya dengan ‎perceraian. Adapun dengan penafsiran kontekstual ini, kejelasan asbabul nuzul yang ‎mengizinkan pemukulan terhadap istri itu hanya berlaku konteks Madinah pada waktu ‎itu saja, yang mana kedudukan perempuan sangat direndahkan. Hal ini sebagai ‎langkah orang arab tidak terlalu kaget sehingga Islam mampu masuk ke dalam hati-‎hati mereka.‎
Pada lanjutan ayat 34 Surat An-Nisa’ Fa in atha’nakum fa laa tabghuu ‎‎‘alaihinna sabiilaa. Menurut Ali As-shobuni dalam Muhtashar Ibn Katsir ‎menyebutkan, yang dimakud dalam ayat tersebut adalah apabila istri telah taat kepada ‎suami dalam segala hal yang dikehendaki suami dan yang diperbolehkan oleh Allah ‎SWT, maka suami tidak lagi boleh memukul dan meninggalkannya.‎ ‎ Di sini ada suatu ‎indikasi, apabila segala upaya yang telah suami lakukan menemukan hasil, yaitu istri ‎tidak nusyuz lagi maka semuanya harus kembali seperti biasanya, bergaul dan ‎mu’asyaroh secara ma’ruf dan romantis.‎
Kemudian jika nusyuz tidak bisa teratasi atau sudah mencapai titik klimaksnya, ‎maka nusyuz ini akan menjadi suatu penyebab perpecahan suami-istri, yang sering ‎dikenal dengan syiqoq.‎
Menurut Al Mawardi bahwa yang dimaksud dengan syiqoq adalah perpecahan ‎dari masing-masing suami isri tersebut. Sedangkan menurut Hamka dalam Tafsir Al ‎Azhar, syiqoq terjadi apabila diantara dua pihak (suami dan istri) terjadi saling ‎menyalahkan, mengutamakan ego, tidak ada yang mau mengalah, dan saling ‎memberikan klaim yang menyudutkan satu sama lain. Suami mengatakan bahwa ‎istrinya sangat nusyuz, oleh karena itu ia berhak menhukum dan bahkan tidak memberi ‎nafkah lahir dan batin. Sedangkan istri mengatakan suaminya mendholiminya dan ‎tidak memperdulikannya lagi.‎
Pada Surat An Nisa’ ayat 35 disebutkan bahwa apabila syiqoq seperti pada ‎pengertian di atas sudah mulai muncul maka hakam atau wali harus mengutus seorang ‎juru damai dari pihak laki-laki-laki dan satu dari pihak perempuan. Hakam/ juru damai ‎yang dimaksud mempunyai tugas untuk menyelidiki kehendak dan motif masing-‎masing suami istri dan mendamaikannya apabila suami istri tersebut menghendaki ‎untuk berdamai. Secara mafhum mukhalafah, apabila suami istri tersebut tidak ‎menghendaki, maka para juru damai boleh memisahkan keduanya (bercerai). Akan ‎tetapi, para ulama’ tafsir telah sepakat bahwa ishlah atau perdamaian itu menjadi ‎prioritas utama. Salah satunya menurut Hasan Al Basyri: kedua hakam yang diutus ‎dalam memutuskan perkara tersebut lebih mempriotaskan untuk islah/jam’i ‎‎(perdamaian) daripada tafarruq (cerai).‎ ‎ Karena ulama’ tafsir beralasan bahwa pada ‎ayat tersebut hanya disebutkan kata Ishlah (berdamai), sedangkan kata yang ‎mempunyai makna cerai tidak disebutkan dalam redaksi ayat tersebut.‎
Sedangkan mengenai siapa yang berhak menjadi juru damai, Abi Qosim ‎menyebutkan juru damai boleh dari luar keluarga suami atau istri, akan tetapi lebih ‎utama apabila berasal dari pihak keluarga.‎ ‎ Karena dimaksudkan juru damai tersebut ‎sudah mengenal sifat dan watak kedua orang yang berselisih. Sehingga tujuan untuk ‎mendamaikannya akan lebih mudah dilakukan. Wallahu A’lam.‎


Penutup
Dalam upaya memahami aspek kebenaran al-qur’an, umat Islam sudah lama ‎mengalami pergulatan intelektual yang cukup serius, meskipun pergulatan tersebut ‎masih dalam tataran persepsi atau metodelogis. Perdebatan mengenai bagaimana ‎memahami dan mengfungsikan Al-Qur’an dalam kehidupan bisa saja terjadi, tetapi ‎keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk final yang harus ‎diaplikatifkan dalam kehidupan. Oleh karena itu suatu metode dan corak penafsiran ‎berhak hidup dan berkembang, meskipun masing-masing mufasir dengasn metode dan ‎corak penafsirannya mempunyai kelebihan dan kekurangan.‎
Pembahasan mengenai konsep nusyuz dan syiqoh di atas, dapat ditarik ‎kesimpulan bahwa:‎
‎1.‎ Nusyuz dalam al-qur’an dapat merujuk pada istri maupun suami ‎
‎2.‎ Dalam menangani nusyuz dan syiqoq, ada beberapa langkah, yaitu:‎
 Solusi verbal atau dialogis, yaitu memberikan nasihat dengan baik dan halus (Qs. ‎An-Nisa: 34). Nasihat ini harus disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. Atau ‎dengan bantuan arbitrase atau hakam seperti dalam Qs. An-Nisa: 128‎
 Pisah ranjang, dalam artian tidak melakukan hubungan suami-istri.‎
 berpaling atau memberikan contoh, yaitu suatu tindakan yang sangat darurat dan ‎mendesak apabila dua solusi dia atas tidak berhasil. Meskipun ulama klasik ‎mengartikan idribhu pukullah, tapi pada dasarnya mereka tidak mengharapkan ‎pukulan ini terjadi. Makanya para ulama menekankan harus pukulan tanpa ‎menyakitkan.‎
 Jika nusyuz sampai syiqoq maka harus dihadiri hakam, yaitu juru damai‎

Daftar Pustaka
Abdul qadhir Al-bikari. Al-asas fi- Tafsir( tafsir surat Ali imran dan surat An-nis’a). ‎Mesir; Darussalam. 1989 M.‎
Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi. Asbabun Nuzul Al-Qur’an
Abi ja’far ibn haryiri At-Thabari.Jamiu’ al-Bayan an ta’wil qur’an.Juz 5. Darul Fikri.‎
Abi qashim muhammad.At Tashil fi ‘Ulum At Tanzil. Juz I. Darul Kutub Ilmiyah. ‎Beirut-Lebanon;‎
Ahmad baidowi. Tafsir Feminis : Kajian Perempuan Dalam Al-Qur’an Dan Para ‎Mufasir Kontemporer. 2005. Bandung: Nuasa.‎
Ali Ash Shabuni. Shafwah Al Tafaasiir.1999. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyyah‎
‎-------------------. Muhtashor Tafsir Ibnu Katsir. Jilid I. Beirut: Dar Al Kutub Al ‎‎‘Ilmiyyah.‎
‎------------------. Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat Al Ahkam Min Al Qur’an. 2001. Jakarta: ‎Dar Al Kutub Al Islamiyyah.‎
At-Thabari, Jamiu’ al-Bayan An Ta’wil qur’an, Juz V
Hamka. Tafsir al-Azhar -Juz V
Ibnu Katsir, Muhtashor Ibnu Katsir al-mujlidul al-u’la. Mekkah; Darul al-i’lmu al-‎arabi.‎
‎-------------. Muhtashor Tafsir Ibnu Katsir. Jilid I. Beirut: Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah
Mahmud an-Nasafiy, Tafsir an-Nasafiy, Juz I
Sayyid Quthb, Tafsir Fizhilalil Qur’an (Dibawah naungan qur’an). Jakarta; Gema ‎insani.2001.‎
Read More......

Kamis, 25 Desember 2008

Hari Natal

umat kristiani sekarang sibuk meramaikan hari raya natal. hari ini mereka asumsikan sebagai hari ‎kelahiran yesus atau isa al-masih. padahal ditinjau dari sejarah, tanggal 25 desember yang sekarang ‎dianggap kelahiran isa mulanya adalah hari kerayaan adat romawi. 25 desember menjadi kelahiran isa ‎timbul setelah berapa abad kelmatiaanya. kebenaran ini dikemukakan dengan jelas oleh Irene, ‎mantan biarawati, penjelasannya bisa dibaca dalam buku-bukunya atau ceremahnya. tapi mengapa ‎umat kristiani maish mempertahankan itu?! jadi kegiatan mereka itu suatu hal yang menganjal..‎
memang keyakinan itu menjadi suatu landasan, pijakan yang fundamental bagi sesorang,, meskipun ‎dan bagaimanapun keyakinan itu diserang dengan kebenaran, mereka tetap saja menutup diri ‎terhadap kebenaran tersebut.. oleh karena itu, dalam memperoleh keyakinan, harus dipastikan ‎akankebenarannya. Hal itu tidak cukup berdasarkan insting atau keimanan dan keyakinan belaka. ‎keyakinan ‎
harus berdasarkan ‎
sesuatu yang dapat diterima akal kita dan sesuai dengan tabbiat kita yang mendekati kebenaran.‎


Read More......

Selasa, 23 Desember 2008

oh ibu!!!

Sungguh luar biasa jasamu,,
9 bulan lamanya kau bawa diriku dengan jerih payah tenagamu,,
tak sampai disana,,
setelah ku dilahirkan,,
aku pun masih tetap merepotkan dan menyusahkan gerak dan langkah keinginanmu,,
bahkan dengan diriku hari ini, kau tak pernah lepas menanggung kehidupan dan permasalahanku,,
begitu mulianya dirimu,,
tak pernah sedikitpun terdengar rasa ngeluh dan menyerah atas kehadiranku,,,
oh ibu,, dari perjuanganmu,, semoga aku bisa membahagiakanmu,,,
Read More......

Senin, 22 Desember 2008

Nikah Beda Agama di Indonesia

"Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"

"Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, ‎mawaddah, dan rahmah‎"
Sudah lama, nikah beda agama menjadi suatu polemik dalam permasalahan pernikahan di ‎Indonesia. Terutama pernikahan antara muslim dan non muslim. Pemerintah mengatur pernikahan ‎dengan keluarnya UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pada pasal 2 ayat 1 UU tersebut dikatakan ‎bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan ‎kepercayaannya. Pada ayat ini menyebutkan bahwa undang-undang perkawinan berbicara sah dan ‎tidaknya perkawinan tersebut. Begitupula menegaskan, ke-sah-an perkawinan tersebut bedasarkan ‎hukum dari agama dan kepercayaan masing-masing. Pada pasal 6 ayat 1 pun menyebutkan ‎persyaratan perkawinan yang sudah ditentukan berlaku sepanjang hukum agama tidak menentukan ‎lain
Bagi umat Islam, aturan perkawinan ditambah lagi dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal ‎‎40 dan 44 menyatakan larangan pernikahan antara muslim dan non-muslim.‎
Pasal 40‎
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena ‎keadaan tertentu: ‎
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; ‎
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; ‎
c. seorang wanita yang tidak beragama Islam. ‎
Pasal 44‎
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak ‎beragama Islam. ‎

Dengan demikian muslim tidak boleh menikah dengan non-muslim. Akan tetapi, dengan ‎perubahan jaman, penafsiran agama pun lebih kompleks maka tentang hukum perkawinan Islam ‎mengalami pergeseran pemahaman. Salah satunya, pernikahan beda agama. Sebagian ‎ulama/cendikiawan muslim sekarang ada yang memperbolehkannya. Karena pelarangan nikah beda ‎agama dalam syariat itu hanya bersifat temporal dan kontekstual pada jaman rasul saja, bukan berarti ‎sekarang juga seperti itu.‎
Dari pergeseran pemahaman keagamaan ini, nikah beda agama bisa saja dilakukan, akan tetapi ‎dalam pelaksanaannya, pernikahannya tidak lewat KUA. Karena bagaimana pun fikih hukum ‎perkawinan Islam di Indonesia adalah KHI, sehingga tetap saja tidak sah pernikahan muslim dengan ‎non muslim.‎
Pada dasarnya, perkawinan beda agama tidak diatur dalam UU No.1 tahun 1974. Pada pasal 66 ‎yang berbunyi:‎
‎“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas ‎Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam ‎Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen ‎‎(Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.'1933 No. 4), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op ‎de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang ‎perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”‎
Pasal ini menyatakan ketidakberlakuannya peraturan tentang perkawinan sejauh sudah diatur ‎dalam UU perkawinan. dengan kata lain, peraturan yang lain itu maish berlaku kalau UU perkawinan ‎tidak mengatur. Oleh karena itu, pernikahan beda agama masih ada peluang untuk dilakukan. Misalnya ‎dengan prosedur perkawinan campuran, pernikahan luar negri di Negara yang membolehkan ‎pernikahan beda agama dsb. Perlu diingat juga pernikahan ini tidak lewat KUA tetapi lewat catatan ‎sipil. Kalau menurut KHI jelas-jelas pernikahan beda agama tidak sah. ‎
Meskipun ada peluang untuk nikah beda agama, kita harus mencoba berenung dulu, ‎bagaimana akan kedepannya. Keyakinan kepada Agama merupakan Sesuatu yang mendasar dalam ‎berfikir dan berbuat. Bagaimana menyusun visi dan misi yang sama untuk mencapai kebahagian dan ‎kesejahteraa, jika landasan berfikir dan berperilakunya juga sudah berbeda?! Walluhu’allam‎
Bagaimanakan pendapat anda terhadap hal tersebut?!‎





Read More......

Counter Draf Legal KHI



RESENSI BUKU

Judul Buku ‎: PEMBARUAN HUKUM ISLAM: Counter Legal Draf Kompilasi Hukum Islam
Penulis ‎: Tim Pengurus Utama Gender Departemen Agama RI
Penerbit ‎: Departeman Agama RI‎
Tahun Terbit ‎: Jakarta 2004‎


Counter Legal Draf Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) ini disusun oleh Tim Pengurus ‎Utama Gender Departemen Agama RI, yang diterbitkan pada 21 September 2004. Tim ini ‎diketuai oleh Siti Musda Mulia. CLD KHI merupakan suatu hasil analisi kritis TIM terhadap KHI ‎ketika berhadapan pada konteks kekinian dan kedisinian. TIM menyatakan bahwa penerapan ‎Kompilasi Hukum Islam melalui Instrukrsi Presiden No. 1 Tahun 1991 itu dinilai sudah waktunya ‎untuk diperbaharui seiring dengan tuntutan dinamika masyarakat dan perkembangan zaman. ‎Pembaharuan ini dilakukan bukan hanya pada basis materialnya saja, tetapi pada ‎paradigmanya pula. Oleh karena itu, TIM menegaskan penyusunan CLD KHI ini tidak hanya ‎memuat perubahan dari batang tubuh KHI semata, tetapi juga menyertakan bangunan ‎metodelogis melalui argumen teologis, sosiologis dan politisnya yang menjadi acuan dari kerja ‎pembaruan ini.‎

Adapun diantara alasannya mengapa diadakan kajian kritis terhadap KHI, yaitu:‎
‎1.‎ Pada tahun 2001, pemerintah indonesia melalui kementerian peberdayaan ‎perempuan mengumumkan kebijakan nasional untuk penghapusan kekerasan ‎terhadap perempuan yang dikenal dengan Zero Tolerance Policy. Tujuan akhir dari ‎kebijakan ini adalah terciptanya kehidupan masyarakat yang aman, adil, demokratis, ‎sejahtera, berkeadilan gender, berwawasan lingkungan dan menjunjung tinggi hak ‎asasi manusia, terutama hak perempuan melalui sikap dan perilaku masyarakat dan ‎negara yang tidak mentolerir sedikitpun kekerasan terhadap perempuan dalam ‎keluarga, tempat kerja, masyarakat dan negara
‎2.‎ Adanya tuntutan yang kuat formalisasi syariat islam di beberapa daerah, akan tetapi ‎belum menemukan konsep yang jelas maka alternatifnya dengan penawaran KHI yang ‎telah disesuaikan dengan kebutuhan dan kearifan budaya di daerah masing-masing
‎3.‎ Pasa tahun 2003, Direktorat Perradilan Agama telah mengusulkan suatu perubahan ‎status hukum KHI dari bentuk INPRES menjadi UU, makanya perlu dikaji ulang.‎
‎4.‎ Sejumlah penelliti menyatakan bahwa KHI mengandung sejumlah persoalan, ‎diantaranya bertentangan dengan produk hkum nasional, seperti UU No. 7 tahun 1984 ‎tenang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dll

Disebabkan KHI akan dijadikannya hukum publik, hukum islam harus dikaji ulang secara ‎serius dengan pendekatan komprehensif. Setidaknya melalui empat pendekatan, yaitu ‎Nasionalitas, gender, pluralisme, hak asasi manusia, Kemaslahatan dan demokrasi. ‎
Tim memaparkan KHI dalam lingkup problematika sosial, diantaranya mengenai saksi ‎pernikahan dalam pasal 24, 25 dan 26. Pada pasal 25 dinilai bias gender karena menutup sama ‎sekali kemungkinan perempuan untuk menjadi saksi pernikahan. Kemudian terkait nusyuz, ‎dalam KHI pasal 84 ayat (1) masih terlihat bias gender pula. Sebab, nusyuz berlaku bagi isttri ‎saja, laki-laki yang mangkir dari tanggung jawabnya tidak diatur dan tidak dianggap nusyuz. Hal ‎ini menunjukan pengekangan kebebasan perempuan dan tidak mendudukan hubungan suami ‎istri secara setara.‎
Di samping KHI dalam lingkup problematika sosial, Tim juga mengemukakan KHI dalam ‎lingkup problem metodelogis. Menurut TIM,berdasarkan kajian akademis, KHI tidak digalli ‎sepenuihnya dari kenyataan empiris indonesia, melainkan banyak mengangkut begitu saja ‎penjelelasan normatif tafsir-tafsir keagamaan klasik, dan kurang mempertimbangkan ‎kemaslahatan bagi umat islam indonesia. KHI merupakan pandangan-pandangan ulama fikih ‎dulu saja. Dengan kata lain metodelogi yang dipakai KHI terlalu literalistik. Tawaran yang ‎diberikan menangani problem ini, TIM menawarakan sebagai berikut:‎
‎1.‎ Mengungkapkan dan merivitalisasi kaidah ushul fikih maarginal yang tidak terliput ‎secara memadai dalam sejumlah kitab ushul fikih.‎
‎2.‎ Membongkar bangunan paradigma ushul fikih lama. ‎
a.‎ Dari teosentrisme ke antroposentrisme, dari elitis ke populis;‎
b.‎ Bergerak dari eisegese ke exegese. Penafsir berusaha semaksimal mungkin ‎menempatakan nash sebagai objek dan dirinya sebagai subyek dalam suau ‎dialetika yang seimbang
c.‎ Mem-fikihkan syariat atau merelatifkan syariat. Syariat harus dipposisikan sebagai ‎jalan yang berguna bagi tercapainya prinsip-prinsip islam berupa keadilan, ‎persamaan, kemaslahatan, penegakan HAM
d.‎ Kemaslahatan sebagai rujukan dari seluruh kerja tafsir
e.‎ Mengubah gaya deduktif menjadi induktif. Sebagai upaya mengakomodir kearifan-‎kearifan lokal

Buku ini menjadi kontroversi. Pembaruan yang diajukan oleh TIM perumus KHI ‎tandingan bukanlah dalam konteks tajdid (pemurnian) atau ishlah (perbaikan terhadap yang ‎rusak/fasad), namun masuk dalam pengertian bid’ah (penyimpangan) dan taghyir (perubahan) ‎dari hukum Islam yang asli. begitupula pendekatan utama perumus KHI tandingan bukan ‎pendekatan hukum Islam, tetapi pendekatan: gender, pluralisme, hak azasi manusia dan ‎demokrasi. Karena tujuan syari’at menurut mereka adalah menegakkan nilai dan prinsip ‎keadilan sosial, kemaslahatan ummat manusia, kerahmatan semesta dan kearifan sosial. ‎Padahal tujuan syari’at sebenarnya menurut fuqaha, adalah memelihara agama, akal pikiran, ‎keturunan, kehormatan, dan harta benda.‎
Buku ini baik dibaca oleh kalangan akademis sebagai wawasan bagaimana memandang ‎hukum islam dari aspek lain. Akan tetapi, dalam penerapannya, CLD KHI ini kurang tepat di ‎Indonesia. Jangankan di masyarakat, kalangan akademis dan para ahli hukum pun sudah ‎menjadi hal yang sangat kontroversial. Meskipun mereka menyadari perubahan harus ‎dilakukan berdasarkan konteks kekinian dan kedisinian tapi dalam CLD KHI tersebut terdapat ‎banyak hal-hal yang tidak cocok dengan konteks keindonesia. Baik dari segi budaya atau pun ‎pesan moral yang dibawanya. Malahan mereka membawa budaya atau kebiasaan orang barat ‎‎- yang sangat jauh dari nilai-nilai moral/akhlak sebagaimana bangsa indonesia- supaya ‎diterapkan di indonesia. Hal ini juga bisa dilihat dari pendekatan mereka terhadap ‎permasalahannya.‎






Read More......

Who Am I?!!


Kesenangan dan kebahagia mewarnai seluruh belahan dunia. Umat kristiani sibuk dengan ‎perayaan kebesarannya. Merayakan suatu hari yang mana diasumsikan bahwa sang juru selamat lahir. ‎Tak satu pun umat kristiani yang melakukan aktifitas selain sesuatu yang berkaitan dengan perayaan ‎hari bersejarah tersebut. Begitu pula disebrang iman mereka, umat islam pun mempersiapkan dan ‎membersihkan diri untuk memberikan totalitas dan loyalitas menghambakan diri kepada Allah Swt ‎dengan beribadah di hari mulia, yaitu hari jumat.‎

Di tengah keramaian hari tersebut, hari Jum’at tepatnya pukul 13:00 WIB tanggal 25 Desember ‎‎1987, di Sukabumi, kota indah nan sejuk dan permai, lahirlah seorang bayi belita yang suci dan bersih ‎dari dosa. Seorang insane baru di dunia yang mampu menyebabkan isak tangis dan ketawa kebahagian ‎keluarga besar Maman Abdurrahman dan Titim Fatimah karena kehadiran anaknya yang ke 6. Tujuh ‎hari berlalu, sang bayi pun mendapatkan indentitasnya, yang diambil dari Asma’ul Husna Allah Swt. ‎yaitu “ Abdul Latif “ yang bermakna Hambanya Yang Maha Lembut. ‎Dan itu adalah aku; saya; ana, alias “abdoel”, anak ke-6 dari pasangan Maman Abdurrahman ‎dan Titim Fatimah. Pada 18 Desember 1991 abdoel pun menjadi sseorang kakak karena kehadiran ‎adikku. Selain itu, abdoel juga memiliki seorang kakak seayah dan dua kakak seibu, sehingga jumlah ‎saudara abdoel 9 orang, sepuluh dengan abdoel.‎

Tahun 1994-2000, abdoel mengenyam pendidikan Sekolah Dasar Negeri OTTISTA di Kotamadya ‎Sukabumi. Disebabkan lahir di lingkungan umat Islam, pada tahun dan kota yang sama, abdoel pun di ‎sekolahkan pendidikan agama Islam “Dinniyah As-Sunnah”. Kurangnya pendidikan untuk bekal ‎kehidupan masa depan, abdoel dikirim ke Kota Dodol, yang dikenal juga kota santri (Kabupaten Garut) ‎untuk memperdalam ilmu, terutama ilmu yang berkenaan dengan cara pemahami ajaran Islam. Enam ‎tahun belajar islam dan ilmu pengetahuan lainnya di Garut, tepatnya Tsanawiyyah tahun 2000-2003 di ‎Pesntren Persatuan Islam No.99 Ranca Bango dan Mualimin tahun 2003-2006 di Pesantren Persatuan ‎Islam No. 76 Tarogong. Abdoel pun mendapatkan rizqi dan kesempatan meneruskan pendidikan ke ‎perguruan tinggi IAIN Sunan Ampel Surabya karena lolos seleksi Program Beasiswa Santri Berpretasi ‎DEPAG RI. Jadinya, kuliah gratis, bahkan biaya hidup pun disubsidi pemerintah.‎

Kalau diselusuri, pendidikan abdoel memang banyak berkecimpung mendalammi pemahaman ‎ tentang islam. Tetapi selama menganut islam, tidak pernahku sadari secara logis dan rasional ‎mengapa abdoel tetap memegang islam. Abdoel hanya mengandalkan suatu keyakinan bahwa islam ‎itu benar. Kecuali pada saat ini, setelah aktif di organisasi kemahasiswaan yaitu Himpunan Mahasiswa ‎Islam, keyakinan tersebut diperkokoh dan dibenarkan oleh akal secara rasional mengapa Islam yang ‎harus di pegang dalam pedoman hidup manusia.‎

Dalam pengalaman organisasi, sewaktu kelas 2 Mualimin disamping aktif di Rijalul Ghad (OSIS), ‎menjabat juga sebagai Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Komisariat Pembangungan Daerah ‎Garut. Wawasan dan pengembangan diri banyak abdoel dapat di PII ini, bahkan bisa dikatakan ‎keberadaan abdoel menjadi anggota CSS MoRA (Community of Santri Scholar Ministry of Religion ‎Affair ) karena hasil proses pengkaderan PII. Aktifitas organisasi abdoel sekarang sebagai Kabid. ‎Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi HMI Komisariat Syariah Sunan Ampel. Sebelumnya pernah ‎juga aktif di KAMMI sebagai staf Pengembangan Sumber Daya Kader, IPNU sebagai staf Penerbitan, ‎dan Forum Remaja Mesjid Ulul Albab IAIN sebagai Seketaris Umum. Tetapi dikarenakan ada gesekan ‎perbedaan pergerakan, idiologi dan kultur, abdoel mengakhir jabatan sebelum masa preiode berakhir.‎

“Berjuang-berjuang dan sabar lah yang dipegang, karena kesuksesan selalu didahului ‎perjuangan”‎

Salam persahabatan dari abdoel



Read More......

Minggu, 21 Desember 2008

kebangkitan islam

banyak orang yang selalu membicarakan kebangkitan kembali umat islam. sebenarnya kebangkitan seperti apa sich yang dimaksud?! dalam kehidupan beragama kita sudah bermacam dan beragam jenis keislamannya. ada yang sunni dan syiah. fundamental, radikal, sekuler dan liberal dll. yang satu sama yang lain salling mnyudutkan, bahkan ada juga sampai aduk fisik segala. semuanya punya konsepsi masing-masing tentang kemenangan islam. bangkitnya islam bagaimana kalau seperti itu?!! mmang ada suatu kebiasan dalam pengistilahan kelompok islam. kita harus hati-hati terhadap pengklasifikasian islam tersebut, karena yang buat orang di luar islam. tidak menutup kemungkinan untuk diadudombakan. wallahuallam Read More......

Pengunjung Ana