SALAM PERSAHABATAN

hidup tanpa persahabatan bagaikan perkasanya singa yang
tinggal sendirian dibelantara hutan. sekeras apapun prinsip dan hati manusia
mesti membutuhkan sahabat


Sabda Nabi Saw:

Hati manusia adalah kandungan rahasia dan sebagian lebih mampu merahasiakan dari yang lain. bila kamu memohon sesuatu kepada allah maka mohonlah dengan penuh bahwa doamu akan terkabulkan. allah tidak mengabulkan doa orang yang hatinya lalai dengan lengah. (HR. Ahmad)

Kamis, 08 Januari 2009

Pemikiran Islam


Islam pluralisme agama dan konflik etnik-religus di Indonesia
By. Abdul Latif
[1]


Bhineka tunggalika ‘berbeda-beda tetap satu jua’, itulah semboyan yang dijunjung tinggi sejak dulu oleh bangsa kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan suku, ras, bahasa dan warna kulit atau dikatakan pluralisnya masyarakat kita adalah hal yang tak bisa dibantahkan keberadaannya, termasuk perbedaan agama dasn kepercayaan. Jika kita menoleh sejarah, ternyata perbedaan tersebut membuahkan hasil, suatu kemerdekaan bagi tanah air kita. Karena perbedaan dalam masyarakat dijadikan modal untuk mempersatukan kekuatan, bahu-membahu melawan pejajah, demi tegaknya kemerdekaan.Berjalannya pembangunan di negri kita saat ini, kita melihat bahwa relasi pluralitas di atas menjadi sebuah relasi yang didalamnya kita temukan adanya tekad untuk memperjuangkan eksistensinya (baik suku, agama, dan ras tertentu), demi mendapatkan pengakuan, perlakuaan yang sama, penghargaan yang setara dan rasa keadilan. Bahkan relasi pluralis merambah sampai pada problem kelompok minoritas berhadapan dengan kelompok mayoritas.Kerusuhan yang hampir tiada hentinya di Indonesia, terutama di Ambon, membuat peran tokoh agama dan nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang pluralist-religious banyak dipertanyakan orang. Sebagai masyarakat religius yang mencantumkan kepercayaan kepada Tuhan sebagai landasan utama hidup bermasyarakat, semestinya kerusuhan yang berbau SARA tidak terjadi di Indonesia. Bukankah falsafah moral setiap agama mengajarkan manusia untuk saling hormat menghormati dan toleran. Ketika ternyata isu kerusuhan berbau SARA terus berlanjut adalah wajar kalau nilai-nilai agama tentang toleransi dan pluralisme kembali diperdebatkan, yang sebelumnya pemerintah pun telah menggelar Trikerukunan sebagai arahan untuk mengatasi perbedaan pada masyarakat.Kemudian sekarang, islam sebagai agama mayoritas di negri ini, bagaimanakah menaggapi permasalahan di atas?!. Islam dengan pedomannya kitab suci al-Qur’an, secara tegas menyatakan bahwa Islam adalah sebuah ajaran universal, dalam artian bahwa Islam merupakan seruan kebenaran kepada semua umat manusia tanpa membedakan ras, agama, suku, bahasa, gender, ideologi, kelompok, profesi, keyakinan, kelas sosial dan sebagainya. Pernyatan ini tergambar dari QS. Al-Hujurat ayat 13:



Ayat lain yang masih berkenaan dengan pluralis dan toleransi adalah: .QS: 21: 92, “Sungguh komunitasmu adalah komunitas yang satu dan Aku adalah Tuhan-mu, maka mengabdilah kepada-Ku” yang menekankan prinsip persatuan dalam perbedaan (unity in diversity). Penerapan nilai-nilai toleransi dan pluralisme Al-Quran sudah dicontohkan oleh Rasul Muhammad ketika pertama kali hijrah ke Medinah. Sejarah mencatat bahwa Muhammad bukan hanya mampu mendamaikan dua suku Aus dan Khazraj yang senantiasa bertikai. Lebih jauh Al-Quran menghormati dan mengakui adanya ahlul kitab, sehingga apabila ada keraguan pada diri Muhammad tentang penunjukkan dirinya sebagai Nabi dan Al-Quran sebagai wahyu, Muhammad dipersilahkan untuk bertanya kepada para Ahli Kitab (QS 10:94 dan 29:46). Dalam hal toleransi dan kebebasan beragama dengan jelas Al-Quran menyebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (QS 2:256) dan dalam hal praktek keagamaan Al-Quran menyebutkan bahwa “untukmu agamamu dan untukku agamaku” (QS 109:6). Sebagian cendikiawan dan intelektual muslim, ada yang berfikir liberal seperti Nurholis Madji, Dawam Raharjo, Ulil Abshar, Budi Munawar Rahman, Lutfi Syaukani, Zuhrawi Misrawi, dsb mempunyai asumsi bahwa sejauh ini islam intoleran terhadap pluralitas, sehingga mereka melakukan ekspansi penyebaran paham pluralisme agama yang dioleskan dengan isu toleransi di Negara Indonesia ini. Salah satu wujud aksi mereka diantarnya, menerbitkan buku-buku, pelatihan-pelatihan (Training), seminar-seminar, bahkan mendirikan yayasan Paramadina yang di desain elit agar pemikiran-pemikirannya terlegalisir ilmiah dan mudah diterima dalam masyarakat. Dampak pemikiran para cendekiawan tersebut, bukannya jadi solusi dari problem, malah menambah masalah dari masalah, karena membuat keresahan pada sebagian ulama dan halayak kaum muslimin Indonesia terhadap pemikirannya yang dianggap secara umum penyimpang. Saat ini muncul buku terbitan baru yang berjudul “AL-QUR’AN KITAB TOLERAN: Pluralisme, Inklusivisme, dan Multikulturalisme”, yang ditulis oleh Zuhairi Misrawi. buku ini bisa dijadikan represntatif kelompok liberal, yang tanpa henti-hentinya terus menyebarkan liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Setelah sekularisme gagal, maka beralih konsentrasi pada pluralisme agama, bukan pluralitas agama karena keduanya berbeda. Adnin Armas menjelaskan kalau Pluralitas agama adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Hal ini sudah terjadi dari dulu, karena kita memang selalu berhadapan dengan kondisi realitas sosial yang majemuk. Islam memberikan solusi untuk ini pada ayat al-Qur’an, diantaranya ”lakum dinukum wal yadin”, yaitu dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing. Sedangkan pluralisme agama adalah paham yang menjadi tema penting dalam disipin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi. Kalau diselusuri lebih jauh, paham ini akan membawa pada suatu pengertian bahwa semua agama adalah benar, begitu pula kebenaran pun menjadi relatif. Padahal dalam islam kebenaran adalah kebnaran yang secara tegas dari Allah melalui malaikatnya. Kelompok pluralisme agama menafsirkan toleransi yang terdapat dalam al-Qur’an dengan makna bahwa perbedaan yang ada itu semua adalah benar, termasuk agama apa pun itu. Bahkan menganggap ini adalah suatu sunnatullah. Pengertian lain dari toleransi mereka adalah Sebagaimana tanggapan Hamid Fahmy Zakarsyi terhadap buku Zuhrawi di atas, bahwa paradigma toleransi konsep zuhrawi, yaitu “toleransi dimaknai sebagai menerima dan menghargai pihak yang salah dan keberagaman. Salah dalam masalah apa, tidak pasti. Tapi disodori hadith ijtihad furu'iyyah, yang salah mendapat pahala satu, yang benar mendapat dua. Dalil fikih ini pun kemudian digunakan untuk memaknai inklusivisme teologis, yaitu menerima kebenaran kelompok atau agama lain (halaman 199). Suatu loncatan akrobatik dari fikih ke teologi yang mengejutkan.” Ketika Al-Quran mengakui adanya umat sebelum Muhammad dan kitab suci mereka. Berulangkali Al-Quran mengkonfirmasikan bahwa kebenaran yang ada pada kitab-kitab sebelum Muhammad adalah datang dari Tuhan yang sama, dan Al-Quran adalah wahyu Tuhan terakhir yang bersifat penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya. “Katakanlah bahwa kami beriman kepada Tuhan dan kepada kitab yang diturunkan-Nya, kami juga beriman kepada kitab yang telah diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan kami juga beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada Musa, Isa dan nabi-nabi yang lain. Kami tidak membuat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya dan hanya kepada Allah lah kami beribadah (QS 3:84). Para pluralisme agama, dengan statment ayat itu menyatakan bahwa sampai sekarang hal itu masih berlaku, dalam artian kitab orang yahudi dan nasrani juga benar. Jadi, Islam mesti toleran pada agama yang lainnya”mengaggap sama dengan al-quran”. Padahal sejarah telah membuktikan keautentikan kitab itu dipertanyakan. Beda halnya dengan al-qur’an sampai sekarang tetap terjaga keautentikannya. Kalaulah kitab orginal mereka masih ada dan merka mengimani kitab tersebut, pasti mereka akan masuk Islam, karena begitulah kitab sebelumnya (kitab mereka) telah mengisyaratkan akan kehadirannya al-qur’an yang akan di bawa nabi Muhammad dan menyuruh mengimaninya. Begitu pula, ketika ayat al-Qur’an tentang toleransi untuk menghormati dan mengakui adanya ahlul kitab, sehingga apabila ada keraguan pada diri Muhammad tentang penunjukkan dirinya sebagai Nabi dan Al-Quran sebagai wahyu, Muhammad dipersilahkan untuk bertanya kepada para Ahli Kitab (QS 10:94 dan 29:46). Dalam hal toleransi dan kebebasan beragama dengan jelas Al-Quran menyebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (QS 2:256) Alqur’an memang toleran. Akan tetapi terbatas, ada hal-hal juga yang intoleran, terutama mengeani akidah. Para pluralisme seakan-akan menyembunyikan realitas teks dan sejarah bahwa Islam berwajah keras, tegas, dan terkadang berbahasa peperangan seperti ditutup-tutupi. Surat Nabi mengajak raja-raja dan kaisar masuk Islam, dalam paradigma ini, bisa dihukumi intoleran. Kesimpulan, sikap para pluralisme agama, yang mengaku sebagai bagian islam, belum tepat melaukan suatu usaha unuk mentenangkan kericuhan yang ada, malahan menjadi maslah baru bagi islam dan bangsa. Toba saatnya kita refleksikan kembali nilai-nilai islam yang benar agar terwujud bahwa islam dilahirkan memang sebagai rahmatan lil alamin. Masa lalu, tetaplah berada pada waktu yang lalu. Masa lalu hanya bisa dijadikan suatu cermin untuk melakukan evaluasi dan intropeksi untuk orentasi kedepannya. Kita mesti tetap berusaha dan berjuang untuk menghadapi realitas yang sedang dihadapi. Bukannya malah terbuay dengan romantisme sejarah, yang mengakibatkan tidak adanya progresifitas kehidupan, dikarenakan terhentinya dinamika perubahan ke arah yang lebih maju. Wallahu ’alam bi sawab [1] Mahasantri Semester IV jur. Akhwal as-Syahsyiah fak. Syariah IAIN Sunan Ampel

Tidak ada komentar:

Pengunjung Ana