RESENSI BUKU
Judul Buku : PEMBARUAN HUKUM ISLAM: Counter Legal Draf Kompilasi Hukum Islam
Penulis : Tim Pengurus Utama Gender Departemen Agama RI
Penerbit : Departeman Agama RI
Tahun Terbit : Jakarta 2004
Counter Legal Draf Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) ini disusun oleh Tim Pengurus Utama Gender Departemen Agama RI, yang diterbitkan pada 21 September 2004. Tim ini diketuai oleh Siti Musda Mulia. CLD KHI merupakan suatu hasil analisi kritis TIM terhadap KHI ketika berhadapan pada konteks kekinian dan kedisinian. TIM menyatakan bahwa penerapan Kompilasi Hukum Islam melalui Instrukrsi Presiden No. 1 Tahun 1991 itu dinilai sudah waktunya untuk diperbaharui seiring dengan tuntutan dinamika masyarakat dan perkembangan zaman. Pembaharuan ini dilakukan bukan hanya pada basis materialnya saja, tetapi pada paradigmanya pula. Oleh karena itu, TIM menegaskan penyusunan CLD KHI ini tidak hanya memuat perubahan dari batang tubuh KHI semata, tetapi juga menyertakan bangunan metodelogis melalui argumen teologis, sosiologis dan politisnya yang menjadi acuan dari kerja pembaruan ini.
Adapun diantara alasannya mengapa diadakan kajian kritis terhadap KHI, yaitu:
1. Pada tahun 2001, pemerintah indonesia melalui kementerian peberdayaan perempuan mengumumkan kebijakan nasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang dikenal dengan Zero Tolerance Policy. Tujuan akhir dari kebijakan ini adalah terciptanya kehidupan masyarakat yang aman, adil, demokratis, sejahtera, berkeadilan gender, berwawasan lingkungan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, terutama hak perempuan melalui sikap dan perilaku masyarakat dan negara yang tidak mentolerir sedikitpun kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga, tempat kerja, masyarakat dan negara
2. Adanya tuntutan yang kuat formalisasi syariat islam di beberapa daerah, akan tetapi belum menemukan konsep yang jelas maka alternatifnya dengan penawaran KHI yang telah disesuaikan dengan kebutuhan dan kearifan budaya di daerah masing-masing
3. Pasa tahun 2003, Direktorat Perradilan Agama telah mengusulkan suatu perubahan status hukum KHI dari bentuk INPRES menjadi UU, makanya perlu dikaji ulang.
4. Sejumlah penelliti menyatakan bahwa KHI mengandung sejumlah persoalan, diantaranya bertentangan dengan produk hkum nasional, seperti UU No. 7 tahun 1984 tenang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dll
Disebabkan KHI akan dijadikannya hukum publik, hukum islam harus dikaji ulang secara serius dengan pendekatan komprehensif. Setidaknya melalui empat pendekatan, yaitu Nasionalitas, gender, pluralisme, hak asasi manusia, Kemaslahatan dan demokrasi.
Tim memaparkan KHI dalam lingkup problematika sosial, diantaranya mengenai saksi pernikahan dalam pasal 24, 25 dan 26. Pada pasal 25 dinilai bias gender karena menutup sama sekali kemungkinan perempuan untuk menjadi saksi pernikahan. Kemudian terkait nusyuz, dalam KHI pasal 84 ayat (1) masih terlihat bias gender pula. Sebab, nusyuz berlaku bagi isttri saja, laki-laki yang mangkir dari tanggung jawabnya tidak diatur dan tidak dianggap nusyuz. Hal ini menunjukan pengekangan kebebasan perempuan dan tidak mendudukan hubungan suami istri secara setara.
Di samping KHI dalam lingkup problematika sosial, Tim juga mengemukakan KHI dalam lingkup problem metodelogis. Menurut TIM,berdasarkan kajian akademis, KHI tidak digalli sepenuihnya dari kenyataan empiris indonesia, melainkan banyak mengangkut begitu saja penjelelasan normatif tafsir-tafsir keagamaan klasik, dan kurang mempertimbangkan kemaslahatan bagi umat islam indonesia. KHI merupakan pandangan-pandangan ulama fikih dulu saja. Dengan kata lain metodelogi yang dipakai KHI terlalu literalistik. Tawaran yang diberikan menangani problem ini, TIM menawarakan sebagai berikut:
1. Mengungkapkan dan merivitalisasi kaidah ushul fikih maarginal yang tidak terliput secara memadai dalam sejumlah kitab ushul fikih.Adapun diantara alasannya mengapa diadakan kajian kritis terhadap KHI, yaitu:
1. Pada tahun 2001, pemerintah indonesia melalui kementerian peberdayaan perempuan mengumumkan kebijakan nasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang dikenal dengan Zero Tolerance Policy. Tujuan akhir dari kebijakan ini adalah terciptanya kehidupan masyarakat yang aman, adil, demokratis, sejahtera, berkeadilan gender, berwawasan lingkungan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, terutama hak perempuan melalui sikap dan perilaku masyarakat dan negara yang tidak mentolerir sedikitpun kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga, tempat kerja, masyarakat dan negara
2. Adanya tuntutan yang kuat formalisasi syariat islam di beberapa daerah, akan tetapi belum menemukan konsep yang jelas maka alternatifnya dengan penawaran KHI yang telah disesuaikan dengan kebutuhan dan kearifan budaya di daerah masing-masing
3. Pasa tahun 2003, Direktorat Perradilan Agama telah mengusulkan suatu perubahan status hukum KHI dari bentuk INPRES menjadi UU, makanya perlu dikaji ulang.
4. Sejumlah penelliti menyatakan bahwa KHI mengandung sejumlah persoalan, diantaranya bertentangan dengan produk hkum nasional, seperti UU No. 7 tahun 1984 tenang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dll
Disebabkan KHI akan dijadikannya hukum publik, hukum islam harus dikaji ulang secara serius dengan pendekatan komprehensif. Setidaknya melalui empat pendekatan, yaitu Nasionalitas, gender, pluralisme, hak asasi manusia, Kemaslahatan dan demokrasi.
Tim memaparkan KHI dalam lingkup problematika sosial, diantaranya mengenai saksi pernikahan dalam pasal 24, 25 dan 26. Pada pasal 25 dinilai bias gender karena menutup sama sekali kemungkinan perempuan untuk menjadi saksi pernikahan. Kemudian terkait nusyuz, dalam KHI pasal 84 ayat (1) masih terlihat bias gender pula. Sebab, nusyuz berlaku bagi isttri saja, laki-laki yang mangkir dari tanggung jawabnya tidak diatur dan tidak dianggap nusyuz. Hal ini menunjukan pengekangan kebebasan perempuan dan tidak mendudukan hubungan suami istri secara setara.
Di samping KHI dalam lingkup problematika sosial, Tim juga mengemukakan KHI dalam lingkup problem metodelogis. Menurut TIM,berdasarkan kajian akademis, KHI tidak digalli sepenuihnya dari kenyataan empiris indonesia, melainkan banyak mengangkut begitu saja penjelelasan normatif tafsir-tafsir keagamaan klasik, dan kurang mempertimbangkan kemaslahatan bagi umat islam indonesia. KHI merupakan pandangan-pandangan ulama fikih dulu saja. Dengan kata lain metodelogi yang dipakai KHI terlalu literalistik. Tawaran yang diberikan menangani problem ini, TIM menawarakan sebagai berikut:
2. Membongkar bangunan paradigma ushul fikih lama.
a. Dari teosentrisme ke antroposentrisme, dari elitis ke populis;
b. Bergerak dari eisegese ke exegese. Penafsir berusaha semaksimal mungkin menempatakan nash sebagai objek dan dirinya sebagai subyek dalam suau dialetika yang seimbang
c. Mem-fikihkan syariat atau merelatifkan syariat. Syariat harus dipposisikan sebagai jalan yang berguna bagi tercapainya prinsip-prinsip islam berupa keadilan, persamaan, kemaslahatan, penegakan HAM
d. Kemaslahatan sebagai rujukan dari seluruh kerja tafsir
e. Mengubah gaya deduktif menjadi induktif. Sebagai upaya mengakomodir kearifan-kearifan lokal
Buku ini menjadi kontroversi. Pembaruan yang diajukan oleh TIM perumus KHI tandingan bukanlah dalam konteks tajdid (pemurnian) atau ishlah (perbaikan terhadap yang rusak/fasad), namun masuk dalam pengertian bid’ah (penyimpangan) dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam yang asli. begitupula pendekatan utama perumus KHI tandingan bukan pendekatan hukum Islam, tetapi pendekatan: gender, pluralisme, hak azasi manusia dan demokrasi. Karena tujuan syari’at menurut mereka adalah menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial, kemaslahatan ummat manusia, kerahmatan semesta dan kearifan sosial. Padahal tujuan syari’at sebenarnya menurut fuqaha, adalah memelihara agama, akal pikiran, keturunan, kehormatan, dan harta benda.
Buku ini baik dibaca oleh kalangan akademis sebagai wawasan bagaimana memandang hukum islam dari aspek lain. Akan tetapi, dalam penerapannya, CLD KHI ini kurang tepat di Indonesia. Jangankan di masyarakat, kalangan akademis dan para ahli hukum pun sudah menjadi hal yang sangat kontroversial. Meskipun mereka menyadari perubahan harus dilakukan berdasarkan konteks kekinian dan kedisinian tapi dalam CLD KHI tersebut terdapat banyak hal-hal yang tidak cocok dengan konteks keindonesia. Baik dari segi budaya atau pun pesan moral yang dibawanya. Malahan mereka membawa budaya atau kebiasaan orang barat - yang sangat jauh dari nilai-nilai moral/akhlak sebagaimana bangsa indonesia- supaya diterapkan di indonesia. Hal ini juga bisa dilihat dari pendekatan mereka terhadap permasalahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar