SALAM PERSAHABATAN

hidup tanpa persahabatan bagaikan perkasanya singa yang
tinggal sendirian dibelantara hutan. sekeras apapun prinsip dan hati manusia
mesti membutuhkan sahabat


Sabda Nabi Saw:

Hati manusia adalah kandungan rahasia dan sebagian lebih mampu merahasiakan dari yang lain. bila kamu memohon sesuatu kepada allah maka mohonlah dengan penuh bahwa doamu akan terkabulkan. allah tidak mengabulkan doa orang yang hatinya lalai dengan lengah. (HR. Ahmad)

Jumat, 26 Desember 2008

Nusyuz

INTERPRETASI ‎
AYAT NUSYUZ DAN SYIQAQ DALAM AL-QURAN

Pendahuluan
Pernikahan merupakan suatu ritual yang sangat sakral dalam perspektif ‎masyarakat umunya. Segala tenaga dan harta pasti dicurahkan ketika pelaksanan ‎pernikahan. Pihak yang terlibat bukan hanya calon pengantin saja, tetapi juga keluarga, ‎kerabat, tetangga dan masyarakat. Bahkan pemerintah pun selaku pemimpin bangsa ‎dan Negara melibatkan diri dalam pernikahan, misalnya yang berkenaan dengan ‎pencatatan pernikahan.‎
Islam memandang pernikahan bukan sekedar hubungan biologis antara suami-‎istri, tetapi merupakan ibadah, yang dalam Al-Qur’an disebut Misyaqan Ghaalidon. Di ‎samping itu, Islam memperhatikan pula dalam pernikahan aspek sosiologisnya. Jadi, ‎selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, pernikahan dimaksudkan pula untuk ‎membentuk suatu keluarga sakinah, mawadah dan warahmah. Sehingga terbangun ‎suatu tatanan masyarakat yang aman, damai dan tentram.‎
Dalam suatu rumah tangga tidak jarang terjadi perselisihan atau persengketaan ‎antara suami-istri. Baik dikarenakan kesalahan suami atau sebaliknya. Bentuk ‎kesalahan tersebut bisa berupa unsur ketidaksengajaan atau kesengajaan. Penyelesaian ‎kesalahan yang disebabkan unsur ketidaksengajaan, tiada lain dengan kebesaran hati ‎memaafkan pihak yang bersalah dengan persyaratan jangan sampai diulangi. ‎Sedangkan penyelesaian kesalahan disebabkan unsur kesengajaan seperti ‎pembangkangan seorang istri, Allah SWT menjelaskannya pada surat An-Nissa’ ayat ‎‎34, yaitu dengan memberikan nasihat, tidak melakukan hubungan suami-istri dan ‎memukulnya.‎
Kemudian jika nusyuz tetap terjadi setelah melakukan tiga hal dalam An-‎Nissa: 34, maka dalam keluarga itu akan tumbuh suatu yang diistilahkan dengan ‎syiqoq atau persengketaan suami-istri. Yang mana kedua belah pihak mengklaim ‎dirinya merasa benar dan menyalahkan yang lain. Maka Allah menjelaskan pada ayat ‎selanjutnya an-Nissa: 35 yaitu dengan mengutus hakam (juru damai) dari masing-‎masing keluarganya untuk melakukan arbitrase.‎
Penyelesaian nusyuz di atas, ada yang menjadi permasalahan pada konteks ‎kekinian, yaitu pada penafsiran para mufasir terhadap lafadz wadribuhunna dengan ‎memukul tanpa menyakitkan atau pukulan mendidik. Sehingga penafsiran ini ‎dijadikan justifikasi pembolehan pemukulan terhadap istri. Sebagian ilmuwan dan ‎cendekiawan muslim sekarang atau mufasir kontemporer, ada yang tidak menyepakati ‎wadribuhuinna ditafsirkan dengan memukul. Meskipun para ulama telah menegaskan ‎harus pukulan yang tidak menyakitkan. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan ayat ‎selanjutnya dan beberapa ayat dan hadits yang mengisyaratkan tidak boleh melakukan ‎kekerasan dalam dalam rumah tangga.‎

Teks Ayat
Ada beberapa ayat al-Quran yang menggunakan lafadz nusyuz dan syiqoq, ‎diantaranya QS. al-Baqarah: 137, 176, 259; an-Nisa: 34,35,128; Al-Anfal: 27; Al-‎Hasyr: 4; Mujadalah: 11; an-Nahl: 27; al-Furqan: 25; adz-Dzariyat: 44; Shad: 2; Hud: ‎‎89. Sedangkan Ayat yang terkait dalam kajian ini adalah an-Nissa ayat 34, 35, 128. ‎agar mempermudah pembahasan diawali dari ayat yang membahas nusyuz dan syiqoq ‎adalah surat an-Nissa ayat 34-35, sebagai berikut:‎
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ ‏قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ ‏وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا ‏فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا ‏‏(35)‏
‎ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah ‎telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), ‎dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab ‎itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika ‎suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). Wanita-wanita ‎yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah ‎mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka ‎mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. ‎Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar (34) Dan jika kamu ‎khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam ‎dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua ‎orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik ‎kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha ‎Mengenal.(35) (an-Nisa: 34-35)‎

Kata Kunci
نُشُوزَهُنَّ ‏ ‏ ‏ ‎= ‘kebencian’, ‘antipati’, ‘kedurhakaan istri terhadap suami’‎
فَعِظُوهُنَّ ‎= memberi nasihat dan arahan/petunjuk
‏ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ‎ = berpindah tempat tidur
وَاضْرِبُوهُنَّ ‎= pukullah untuk mendidik
شِقَاقَ ‎= pertentangan, perselisihan dan permusuhan
حَكَمًا ‎= hakim atau juru pendamai

Analisis Bahasa
قَانِتَاتٌ‎, merupakan khobar dari mubtada’ sebelumnya. Asalnya adalah Al ‎Qunuut yang berarti tetapnya ketaatan (kontinyuitas). Sedangkan yang dimaksud ‎disini adalah wanita-wanita yang taat kepada Allah SWT dan taat kepada suami-suami ‎mereka.‎ ‎ Sedangkan menurut Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud adalah wanita-wanita yang ‎taat kepada suaminya.‎
وَاللَّاتِي, Al Wau adalah wau isti’naf (permulaan). Sedangkan kata al laati itu ‎sendiri adalah isim mausul yang mempunyai ‘aid kepada kata An Nisa’. Ini berarti ‎wanita siapa saja yang oleh suami dikhawatirkan nusyuznya.‎
نُشُوزَهُنَّ ‏, merupakan maf’ul bih. Dhomir ‎َهُنَّ‎ adalah dhomir yang kembali ‎kepada isim maushul Al Laati. Ini berarti nusyuz yang dimaksud adalah maksiat atau ‎tidak taatnya seorang istri terhadap suami, bukan suami kepada istri. Sedangkan ‎makna asal nusyuz itu sendiri adalah al irtifaa’ atau tempat yang tinggi (tempat yang ‎tinggi/menonjol dari dalam bumi)‎ ‎. ‎
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ‎, Al Wau adalah wau ‘athf. Sedangkan Al Wau pada ‎lafadz ‎اهْجُرُوadalah wau jam’I yang khithabnya tertuju kepada para suami yang takut ‎atas nusyuz istrinya. Sedangkan lafadz ‎اهْجُرُو ‏‎ itu sendiri berbentuk amr (perintah), ‎sehingga berarti bagi suami yang khawatir akan nusyuz istri diperintahkan untuk ‎meninggalkannya di tempat tidur. Asal makna ‎الهجر‎ adalah apabila dengan huruf ha’ ‎yang difathah (al hajr), berarti meninggalkan karena benci. Sedangkan apabila ‎didhommah ha’nya (al hujr), berarti kata-kata yang keji. Menurut Ibnu ‘Abbas ‎وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ‎, adalah memalingkan punggung dan tidak menyetubuhinya.‎
َاضْرِبُوهُنَّ , ‎الضرب‎ di dalam kamus terdapat beberapa arti, diantaranya: ‎memukul, menampar, dan menonjok. Akan tetapi yang dimaksudkan dalam ayat ini ‎seperti yang dikemukan oleh beberapa mufasir klasik adalah memukul dengan halus, ‎tidak keras, dan tanpa bekas yang dimaksudkan sebagai pengajaran kepada istri dan ‎sebagai konsekuensi atas nusyuz yang telah dilakukannya kepada suami.‎
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ‎ Wau (‎و‎) dalam susunan kalimat ‎tersebut adalah wau tartib, yaitu menunjukan suatu urutan hirarki. ‎
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا‎ kalimat ini adalah syarat dan jawab syaratnya.‎

Asbabul Nuzul
Adapun sebab-musabab turunya Q.S. an-Nissa: 43, ialah bahwa ada seorang ‎sahabat Rasul, yang termasuk salah seorang guru (naqib) mengajarkan agama kepada ‎kaum Anshar, namanya Sa’ad bin Rabi bin Amr, berselisih dengan istrinya Habibah ‎binti Zuhair. Suatu ketika Habibah menyanggah (nusyuz) kepada suaminya Sa’ad itu. ‎Lalu Sa’ad menempeleng muka istrinya itu. Maka datanglah Habibah ke hadapan ‎Rasul ditemani oleh ayahnya sendiri, mengadukan halnya. Kata ayahnya: ‎‎“disetidurinya anakku, lalu ditempelengnya.” Serta merta Rasulullah menjawab: ‘biar ‎dia membalasnya (Qisas). Artinya Rasulullah mengizinkan perempuan itu membalas ‎memukul sebagai hukuman. Tetapi ketika bapak dan anak perempuannya telah ‎melangkah pergi, Rasul berkata: “kembali! kembali! ini jibril datang!” maka turun ayat ‎ini (membolehkan memukul)”. Maka berkatalah Rasulullah: “ kemauan kita lain, ‎kemauan Tuhan lain, maka kemauan Tuhanlah yang lebih baik”. Ada riwayat lain ‎bahwa nama perempuan itu ialah Khaulah binti Muhammad bin Salamah.‎ ‎ ‎
Akan tetapi periwayatan tentang asbabun nuzul di atas periwayatannya hanya ‎sampai sahabat atau mursal.‎

Munasabah
Setelah Allah menjelaskan keutamaan laki-laki dalam pembagian warisan, dan ‎dilajutkan dengan ayat yang melarang iri hati karena sebagian diantara ahli waris ada ‎yang lebih besar bagiannya dari yang lainnya, tepatnya laki-laki lebih besar dari ‎perempuan. Kemudian Allah turunkan ayat yang menjelaskan hak-hak masing-masing ‎suami istri dan memberi petunjuk langkah-langkah penyelesaian jika istri ‎dikhawatirkan terjadi Nusyuz dan rmaksiat. Kemudian dilanjut dengan ayat ‎selanjutnya penyelesaian tentang syiqoq, yaitu suatu perselisihan yang mampu ‎menghancurkan hubungan keluarga dan diasumsikan berawal dari nuzyuz.‎

Pembahasan
Dalam rumah tangga, kadang-kala hubungan antara suami-istri terjadi gesekan ‎atau persengketaan. Masalah tersebut tidak boleh begitu saja dibiarkan karena akan ‎sampai pada perceraian. Yang mana akan menghancurkan tujuan perkawinan itu ‎sendiri, membentuk keluarga bahagia, sakinah, mawadah dan warahmah. Apabila ‎suami atau istri sudah sampai ada yang meninggalkan kewajiban bersuami-isteri dalam ‎Islam disebut dengan nusyuz. Dalam kitab fikih atau tafsir klasik, kata nusyuz sering ‎diartikan istri yang tidak taat atau membangkang kepada suami. Pendapat ini ‎berdasarkan surat an-Nisa: 34. Ayat ini juga sering ditafsirkan dan dijadikan legitimasi ‎laki-laki melakukan tindak kekerasan terhadap istri yang telah dianggap nusyuz. ‎Sedangkan menurut Amina Wadud, dalam al-qur’an kata nusyuz dapat merujuk pula ‎kepada suami (Qs. an-Nisa: 128) dan istri (Qs. an-Nisa: 34). Sehingga berpandangan ‎bahwa nusyuz adalah ganguan keharmonisan dalam keluarga. Pendapat Amina ‎Wadud ini disandingkan dengan mengkutip pendapat Sayyid Quthb yang ‎menyatakan bahwa nusyuz lebih merujuk pengertian terjadinya ketidakharmonisan ‎dalam suatu perkawinan.‎ ‎ ‎
Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya atau ‎menentang perintah suami. Untuk nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras ‎terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya yaitu ‎menafkahinya dengan baik. Nusyuz dari pihak suami diterangkan dalam Q.S. an-‎Nissa: 128, sebagai berikut:‎
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ‏وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (128) ‏
Terjemahnya:‎
‎“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari ‎suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang ‎sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu ‎menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan ‎memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah ‎adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”‎
Kembali pembahasan pada Nusyuz dalam surat an-Nissa ayat 34, menunjukan ‎nusyuz istri terhadap suami. Yang bermakna perlawanan seorang istri terhadap suami, ‎yang sebelumnya menyebutkan istri yang shalihah dan taat kepada Allah dan suami. ‎Ibnu Katsir menyimpulkan dari ayat tersebut bahwa istri-istri itu ada dua macam, ada ‎yang shalihah dan ada pula yang membangkang atau melawan suami. ‎
Istri yang shalihah menurut ayat tersebut adalah perempuan yang taat kepada ‎Allah dan suaminya, menjaga dirinya (kehormatan), anak dan harta suaminya, baik ‎sewaktu bersama suami maupun sewaktu tidak bersama-sama. Berdasarkan riwayat ‎Ibnu Jarir dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda mengenai istri yang baik sebagai ‎berikut:‎
‎“Sebaik-baiknya wanita ialah perempuan apabila engkau melihatnya, ‎menyenangkan, bila engkau perintah mentaatinya dan bila engkau berada ‎dibelakangnya (tidak hadir) ia menjaga dirinya dan harta bendamu” (H.R. Abu Daud)‎
Istri yang membangkang (nusyuz) yaitu kebalikan dari istri yang taat. Allah ‎SWT memberikan cara untuk menanggapi istri yang nusyuz, untuk tingkat pertama ‎dengan memberikan nasihat. Para mufasir seperti Ibnu Abas dan Mujahid menafsirkan ‎bahwa yang dimaksud dengan nasihat adalah mengajakan atau mengarahkan dengan ‎al-Qur’an supaya bertakwa kepada Allah SWT dan mentaati suami.‎ ‎ Nasihat ini harus ‎disampaikan dengan penuh hikmah dan pengajaran yang baik.‎ ‎ Sayyid Quthub dalam ‎tafsirnya fizilalil qur’an mengatakan bahwa inilah tindakan pertama yang harus ‎dilakukan pemimpin dan kepala rumah tangga, yaitu melakukan tindakan pendidikan, ‎yang memang senantiasa dituntut kepadanya dalam semua hal.‎ ‎ Prof. Hamka ‎mengatakan bahwa apabila seorang istri itu terbiasa dengan kemanjaan dan ‎kemewahan waktu bersama dengan orang-tuanya, sehingga menganggap remeh ‎pemberian suaminya dan malakukan nusyuz, maka suami harus mengajarkan dan ‎menyadarkan bahwasanya setelah bersuami, halus maupun kasar, terimalah dengan ‎baik. Karena apabila seseorang telah bersuami, kemudian bercerai, jika ia kembali pada ‎tanggung jawab ibu-bapaknya tidak akan sama seperti sewaktu dia gadis.‎
Setelah diberikannya nasihat dan arahan dari sang suami, tetapi istri masih ‎tetap berbuat nusyuz karena hawa nafsunya lebih dominan, memperturutkan perasaan, ‎merasa lebih tinggi, atau menyombongkan kecantikannya, kekayaannya, status sosial ‎keluarganya, dan sebagainya. Maka Allah SWT memerintahkan supaya berhijrah ‎tempat tidur dengannya. Ibnu Abbas berpendapat bahwa maksudnya jangan ‎menyetubuhinya, jangan tidur dekatnya, atau belakangi dia sewaktu tidur.‎ ‎ ‎Begitupula para mufasir lainnya, mengartikan lafadz itu adalah suatu kinayah supaya ‎jangan berbuat jim’a dengan istri.‎
Para mufasir menjelaskan mengapa harus menahan untuk melakukan hubungan ‎suami-istri ketika istri tetap melakukan nusyuz setelah diberi nasihat?! Karena biasanya ‎istri yang nusyuz lantas cenderung surut dan melunak di depan suami yang tegar ini, ‎di depan kekuatan khusus suami dalam mengendalikan iradah dan kepribadiannya, ‎dalam menghadapi kondisi yang rawan, maka kebanggaan-kebanggan istri ‎‎(kecantikannya) , penyebab berbuat nusyuz memudar. Disinilah terdapat makna ‎pendidikan tertentu bagi istri yang berbuat nusyuz. ‎
Akan tetapi, jika langkah kedua ini juga tidak mencapai hasil, maka Allah ‎menyuruh untuk memukul istri tersebut, tetapi mesti lebih ringan dampaknya ‎dibandingkan dengan kehancuran rumah tangga itu sendiri gara-gara nusyuz.‎
Kata (‎اضْرِبُوهُنَّ ), ulama tafsir klasik mengartikan kata tersebut dengan ‎pukullah! Karena menafsirkan surat an-Nisaa’: 34 menunjukan prioritas langkah-‎langkah yang harus diambil, bukan secara serentak. Jadi si suami pertama-tama harus ‎menasihatinya (dialogis). Apabila tindakan ini tidak memberikan dampak positif, sang ‎suami harus berpisah ranjang “tidak berhubungan sex” dengan istri sementara waktu. ‎Apabila ini tidak berhasil juga maka harus memukulnya, meskipun para ulama ‎menegaskan pemukulan ini harus dilakukan dengan pelan tanpa bekas. Pengertian ini ‎juga berdasarkan asbabun nuzul turunya ayat an-nisaa’: 34, yang membolehkan suami ‎memukul istrinya ketika berbuat nusyuz. ‎
Sedangkan jika dikontekskan pada zaman sekarang, ada pula yang ‎berpendapat bahwa idhribu, diartikan dengan ‘berpaling dari’. Meskipun tidak ‎bergandengan dengan preposisi ‘an’ karena dalam bentuk amar.‎ ‎ Dari sudut pandang ‎ini, bila suami terganggu dengan ketidakpatuhan istrinya, dan bila nasihat yang diikuti ‎pisah ranjang (tidak berjima’) tidak memperbaiki hubungannya dengan istri, sang ‎suami boleh sepenuhnya mengabaikan istrinya untuk sementara waktu. Jika ‎sesudahnya, perkawinan mereka tetap bermasalah, wakil-wakil dari keluarga mereka ‎harus dilibatkan. Adapun pertimbangannya adalah supaya tidak ada hukuman fisik. ‎Berdasarkan sudut pandang rasional, saat ini tidak ada kemungkinan memberikan ‎hukuman fisik pada istri akan menjadi pelajaran berharga bagi istri yang tidak patuh ‎pada suaminya. Bagaimanapun orang akan berfikir sebaliknya. Senada dengan ‎pendapat tersebut, Aminah Wadud pun mengartikan idribu di sana bukan pukullah ‎akan tetapi dimaknainya dengan contohkanlah sesuai firman allah daraballah ‎masalan.‎
Tafsir kedua ini selaras dengan langkah keempat, dengan melibatkan keluarga ‎dari belah pihak (syiqoq), yaitu penyelesaian tanpa kekerasan. Begitu pula selaras ‎dengan surah an-Nisaa’: 128, yang menjelaskan jika istri khawatir suami berbuat ‎nusyuz, maka solusinya dengan perdamaian, walaupun perdamaiannya dengan ‎perceraian. Adapun dengan penafsiran kontekstual ini, kejelasan asbabul nuzul yang ‎mengizinkan pemukulan terhadap istri itu hanya berlaku konteks Madinah pada waktu ‎itu saja, yang mana kedudukan perempuan sangat direndahkan. Hal ini sebagai ‎langkah orang arab tidak terlalu kaget sehingga Islam mampu masuk ke dalam hati-‎hati mereka.‎
Pada lanjutan ayat 34 Surat An-Nisa’ Fa in atha’nakum fa laa tabghuu ‎‎‘alaihinna sabiilaa. Menurut Ali As-shobuni dalam Muhtashar Ibn Katsir ‎menyebutkan, yang dimakud dalam ayat tersebut adalah apabila istri telah taat kepada ‎suami dalam segala hal yang dikehendaki suami dan yang diperbolehkan oleh Allah ‎SWT, maka suami tidak lagi boleh memukul dan meninggalkannya.‎ ‎ Di sini ada suatu ‎indikasi, apabila segala upaya yang telah suami lakukan menemukan hasil, yaitu istri ‎tidak nusyuz lagi maka semuanya harus kembali seperti biasanya, bergaul dan ‎mu’asyaroh secara ma’ruf dan romantis.‎
Kemudian jika nusyuz tidak bisa teratasi atau sudah mencapai titik klimaksnya, ‎maka nusyuz ini akan menjadi suatu penyebab perpecahan suami-istri, yang sering ‎dikenal dengan syiqoq.‎
Menurut Al Mawardi bahwa yang dimaksud dengan syiqoq adalah perpecahan ‎dari masing-masing suami isri tersebut. Sedangkan menurut Hamka dalam Tafsir Al ‎Azhar, syiqoq terjadi apabila diantara dua pihak (suami dan istri) terjadi saling ‎menyalahkan, mengutamakan ego, tidak ada yang mau mengalah, dan saling ‎memberikan klaim yang menyudutkan satu sama lain. Suami mengatakan bahwa ‎istrinya sangat nusyuz, oleh karena itu ia berhak menhukum dan bahkan tidak memberi ‎nafkah lahir dan batin. Sedangkan istri mengatakan suaminya mendholiminya dan ‎tidak memperdulikannya lagi.‎
Pada Surat An Nisa’ ayat 35 disebutkan bahwa apabila syiqoq seperti pada ‎pengertian di atas sudah mulai muncul maka hakam atau wali harus mengutus seorang ‎juru damai dari pihak laki-laki-laki dan satu dari pihak perempuan. Hakam/ juru damai ‎yang dimaksud mempunyai tugas untuk menyelidiki kehendak dan motif masing-‎masing suami istri dan mendamaikannya apabila suami istri tersebut menghendaki ‎untuk berdamai. Secara mafhum mukhalafah, apabila suami istri tersebut tidak ‎menghendaki, maka para juru damai boleh memisahkan keduanya (bercerai). Akan ‎tetapi, para ulama’ tafsir telah sepakat bahwa ishlah atau perdamaian itu menjadi ‎prioritas utama. Salah satunya menurut Hasan Al Basyri: kedua hakam yang diutus ‎dalam memutuskan perkara tersebut lebih mempriotaskan untuk islah/jam’i ‎‎(perdamaian) daripada tafarruq (cerai).‎ ‎ Karena ulama’ tafsir beralasan bahwa pada ‎ayat tersebut hanya disebutkan kata Ishlah (berdamai), sedangkan kata yang ‎mempunyai makna cerai tidak disebutkan dalam redaksi ayat tersebut.‎
Sedangkan mengenai siapa yang berhak menjadi juru damai, Abi Qosim ‎menyebutkan juru damai boleh dari luar keluarga suami atau istri, akan tetapi lebih ‎utama apabila berasal dari pihak keluarga.‎ ‎ Karena dimaksudkan juru damai tersebut ‎sudah mengenal sifat dan watak kedua orang yang berselisih. Sehingga tujuan untuk ‎mendamaikannya akan lebih mudah dilakukan. Wallahu A’lam.‎


Penutup
Dalam upaya memahami aspek kebenaran al-qur’an, umat Islam sudah lama ‎mengalami pergulatan intelektual yang cukup serius, meskipun pergulatan tersebut ‎masih dalam tataran persepsi atau metodelogis. Perdebatan mengenai bagaimana ‎memahami dan mengfungsikan Al-Qur’an dalam kehidupan bisa saja terjadi, tetapi ‎keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk final yang harus ‎diaplikatifkan dalam kehidupan. Oleh karena itu suatu metode dan corak penafsiran ‎berhak hidup dan berkembang, meskipun masing-masing mufasir dengasn metode dan ‎corak penafsirannya mempunyai kelebihan dan kekurangan.‎
Pembahasan mengenai konsep nusyuz dan syiqoh di atas, dapat ditarik ‎kesimpulan bahwa:‎
‎1.‎ Nusyuz dalam al-qur’an dapat merujuk pada istri maupun suami ‎
‎2.‎ Dalam menangani nusyuz dan syiqoq, ada beberapa langkah, yaitu:‎
 Solusi verbal atau dialogis, yaitu memberikan nasihat dengan baik dan halus (Qs. ‎An-Nisa: 34). Nasihat ini harus disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. Atau ‎dengan bantuan arbitrase atau hakam seperti dalam Qs. An-Nisa: 128‎
 Pisah ranjang, dalam artian tidak melakukan hubungan suami-istri.‎
 berpaling atau memberikan contoh, yaitu suatu tindakan yang sangat darurat dan ‎mendesak apabila dua solusi dia atas tidak berhasil. Meskipun ulama klasik ‎mengartikan idribhu pukullah, tapi pada dasarnya mereka tidak mengharapkan ‎pukulan ini terjadi. Makanya para ulama menekankan harus pukulan tanpa ‎menyakitkan.‎
 Jika nusyuz sampai syiqoq maka harus dihadiri hakam, yaitu juru damai‎

Daftar Pustaka
Abdul qadhir Al-bikari. Al-asas fi- Tafsir( tafsir surat Ali imran dan surat An-nis’a). ‎Mesir; Darussalam. 1989 M.‎
Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi. Asbabun Nuzul Al-Qur’an
Abi ja’far ibn haryiri At-Thabari.Jamiu’ al-Bayan an ta’wil qur’an.Juz 5. Darul Fikri.‎
Abi qashim muhammad.At Tashil fi ‘Ulum At Tanzil. Juz I. Darul Kutub Ilmiyah. ‎Beirut-Lebanon;‎
Ahmad baidowi. Tafsir Feminis : Kajian Perempuan Dalam Al-Qur’an Dan Para ‎Mufasir Kontemporer. 2005. Bandung: Nuasa.‎
Ali Ash Shabuni. Shafwah Al Tafaasiir.1999. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyyah‎
‎-------------------. Muhtashor Tafsir Ibnu Katsir. Jilid I. Beirut: Dar Al Kutub Al ‎‎‘Ilmiyyah.‎
‎------------------. Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat Al Ahkam Min Al Qur’an. 2001. Jakarta: ‎Dar Al Kutub Al Islamiyyah.‎
At-Thabari, Jamiu’ al-Bayan An Ta’wil qur’an, Juz V
Hamka. Tafsir al-Azhar -Juz V
Ibnu Katsir, Muhtashor Ibnu Katsir al-mujlidul al-u’la. Mekkah; Darul al-i’lmu al-‎arabi.‎
‎-------------. Muhtashor Tafsir Ibnu Katsir. Jilid I. Beirut: Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah
Mahmud an-Nasafiy, Tafsir an-Nasafiy, Juz I
Sayyid Quthb, Tafsir Fizhilalil Qur’an (Dibawah naungan qur’an). Jakarta; Gema ‎insani.2001.‎

Tidak ada komentar:

Pengunjung Ana